Ketika Nasi menjadi Tabu

SELAMAT DATANG DI DESA KETAHANAN PANGAN, CIREUNDEU


Kira-kira begitulah yang tertera pada gardu tempat masuk ke RT 2 dan 3 desa Cireundeu. Bukan tanpa sebab gelar itu muncul di desa yang berada tepatnya di kelurahan Leuwigajah, Cimahi Selatan. Sejumlah orang, lembaga, maupun organisasi pemerintahan telah sering berkunjung ke kampung adat itu hanya untuk membuktikan keunikan para pemakan nasi non beras tersebut. Jika kita mengenal ungkapan "Orang Indonesia, kalau belum makan nasi, belum makan namanya", dengan asumsi yang dimaksud dengan nasi di sini adalah beras padi yang ditanak hingga menghasilkan nasi dengan aroma yang harum dan tekstur yang enak, maka ungkapan tersebut tidak berlaku di warga Cireundu khususnya RT 002 dan 003.

RASI. begitulah sebutan makanan pokok yang masih bertahan hingga sekarang semenjak tahun 1924 lalu. Rasi adalah Beras Singkong atau Nasi Singkong, yaitu nasi yang bahan dasarnya berasal dari ampas singkong atau biasa disebut Ongkok.

Abah Emen Sunarya, Sesepuh adat di desa Cirendeu, menuturkan kisah mengenai fakta Rasi tersebut. Berawal dari kisah yang terjadi pada tahun 1924-an. Ketika itu, di zaman penjajahan Belanda, lahan sawah yang telah ditanami padi tiba-tiba mongering dan puso. Sementara suplai beras dari pemerintah Belanda waktu itu sangatlah sulit. Di tengah masa yang teramat sulit itu, Haji Ali, tokoh masyarakat Cirendeu, warga kampung mulai mencari jalan keluarnya. Jalan keluarnya adalah dengan mengganti sawah menjadi kebun singkong. Sejak itulah warga Cirendeu membiasakan diri mengonsumsi singkong. Hal ini didahului dengan keluarnya wejangan dari Haji Ali, yang initinya minta masyarakat menunda mengonsumsi beras, dan beralih ke umbi-umbian. Rupanya wejangan itu tetap melekat pada warga masyarakat Cirendeu hingga saat ini. 

Pertanyaannya adalah, setelah sekian ratus tahun lamanya, kenapa bisa warga desa Cireundeu khususnya para pemangku adat, tetap memakan rasi dan tak pernah sekali pun menyentuh nasi padi? Apakah benar desa ketahanan pangan ini menganut prinsip ketahanan pangan yang sesungguhnya?

Ternyata yang menyebabkan rasi bertahan lama bukanlah pola pikir masyarakat desa mengenai ketahanan pangan, melainkan sebuah tradisi adat yang tidak bisa dilanggar. Ada sebuah tradisi yang menjadikan nasi atau beras padi menjadi tabu bahkan untuk disentuh sekali pun. Elis, salah satu masyarakat adat di sana mengatakan bahwa apabila ada seorang warga yang menyentuh beras padi atau bahkan mengkonsumsinya, maka harus dilakukan upacara tersendiri sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Kekuatan adat ini lah yang menyebabkan Rasi begitu populer dan membumi di tanah Cireundeu. Hingga saat ini, masih terapat sekitar kurang lebih lima puluh orang dari sejumla Rukun Tetangga yang ada, yang hingga saat ini masih mengkonsumsi Rasi dan tak pernah tahu sama sekali bagaimana rasanya Nasi.

Beberapa penduduk desa mengaku telah beralih menjadi pengkonsumsi nasi setelah sekian lama mengkonsumsi rasi. Dewi (25) mengakui bahwa semenjak SMA, ia tak pernah lagi mengonsumsi rasi karena jarang didapat di kota, bahkan hingga menikah dan memiliki anak. Akan tetapi, ketika ditanya bersedia atau tidak untuk kembali mengkonsumsi rasi apabila nasi sulit didapatkan ke depannya, beliau menjawab bersedia karena rasa dari rasi sudah akrab di lidah dan tidak ada masalah besar dalam mengkonsumsinya.

Nasi, bagi penduduk adat dianggap tabu. Walaupun dilatar belakangi oleh tradisi, tetapi Ketua RT 3 mengakui bahwa penduduk adat sangat mendukung upaya diversifikasi pangan oleh pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan negara ini. Pengetahuan beliau mengenai kebijakan impor beras dan pentingnya diversifikasi pangan meyakinkan orang-orang yang bertanya bahwa upaya menghidupkan Rasi merupakan salah satu kontribusi Cireundeu untuk ketahanan pangan Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika desa ini disebut sebagai Desa Ketahanan Pangan atau Kemandirian Pangan. Sudah bukan hal yang aneh lagi jika berbagai macam orang baik mahasiswa, dosen, peneliti, anggota DPR, bahkan menteri datang untuk memuaskan rasa penasaran mereka baik untuk kepentingan program maupun kepentingan sendiri akan desa ketahanan pangan tersebut.

Mengenal rasi, maka teknologi pangan berperan di sana. Bagi yang belum bisa membayangkan bentuknya, beginilah kira-kira rasi itu....


Rasanya mungkin tidak seenak nasi, warnanya tidak seputih nasi, aromanya pun tidak seharum nasi. Akan tetapi, jika mencicipinya, akan sangat mengerti mengapa rasi ini dapat menggantikan nasi. Rasa dan teksturnya memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan dengan nasi. Kelebihannya, proses pengolahannya lebih cepat, harganya jauh lebih ekonomis, memiliki sisi fungsional yang baik yang dikatakan salah satunya dapat mencegah penyakit diabetes melitus, serta lebih cepat terasa kenyang sehingga cukup baik untuk kesehatan.
Saya pikir, hanya butuh sedikit sentuhan teknologi pangan untuk membuat rasi ini sebagai beras analog atau beras tiruan dan dikonsumsi layaknya nasi oleh penduduk selain warga cireundeu.

Semoga kisah ini menginspirasi kita semua bahwa ternyata, di salah satu sudut pulau jawa yang notabenenya adalah pemakan nasi terbesar se Indonesia, masih ada sekumpulan orang yang bertahan hidup tanpa nasi.

HIDUP KETAHANAN PANGAN INDONESIA!!!!!

0 comment :