Memahami "Ayah"





Pada suatu sore, saya berkunjung ke sebuah rumah. Ya, itu memang menjadi kunjungan yang paling dinanti selama sebulan terakhir kemarin. Hari itu, banyak pertanyaan yang tiba tiba saja bermunculan, khususnya tentang bagaimana mereka, apakah saya akan baik-baik saja, dan sebagainya. Orang pertama yang saya lihat setibanya di sana adalah seseorang yang dipanggil Ayah. Saya langsung bisa memahami, darimana "dia' memperoleh senyum ramahnya. Sore itu, melewati berbagai macam percakapan, saya lebih banyak mengenal seseorang bernama Ayah, banyak kisah yang diceritakan seperti masa masa ketika beliau berkontribusi, mendengarkan curhatan banyak orang, hingga bagaimana beliau mengasuh anak-anaknya hingga tumbuh menjadi anak yang begitu bertanggung jawab.

Mengenang percakapan percakapan pada "kunjungan sore" itu, pikiran saya kemudian beralih kepada sosok "Ayah" lain di rumah sederhana beberapa kilometer dari rumah itu. Sosok "Ayah" yang juga gemar sekali bercerita, berbagi pengalaman. Per hari kemarin, sebelum saya menulis hal ini, sosok "Ayah" itu baru saja membuat putrinya ini menangis. Ya, bukan pertama kalinya "Ayah" membuat saya menangis. Bukan karena beliau tidak menjalankan perannya dengan sangat baik, bukan. Bagaimanapun, beliau adalah "Ayah" terbaik. Beliau akan selalu bersedia melindungi saya dari apa pun, bahkan dari makhluk kecil tidak berdaya yang bernama "kecoa". Hanya saja, saya masih belum bisa memahami apa yang menjadi keinginan beliau, sebagaimana beliau yang juga tidak selalu memahami apa yang menjadi keinginan saya. Saya tidak pernah tahu caranya menyampaikan keinginan saya. Tidak ada yang pernah mengajari kami caranya saling berkomunikasi sebagai Ayah dan anak. "Ayah" lebih banyak berbicara, saya lebih banyak mendengar. Sesederhana itu. Kami hanya berasumsi satu sama lain bahwa kami saling mengerti dan memahami. Peran sebagai anak mewajibkan saya untuk lebih banyak berkata "iya Pa" dibandingkan "Tapi kan..."

Dan apa kalian tahu, sulitnya memahami orang yang terlahir menjadi "Pahlawan" dalam hidup kita ternyata bukan hanya menjadi masalah saya, Banyak sekali anak di dunia ini, yang sampai di usia senja kedua orang tuanya, masih tidak bisa memahami sama sekali. Sepertinya, Psikologi Orangtua juga wajib dipelajari oleh setiap orang, sama pentingnya dengan mempelajari Psikologi Anak. Bukan hanya karena kita butuh memahami kedua sosok yang begitu mencintai kita tanpa syarat, tapi karena kelak, kita akan menjadi mereka. Sangat penting untuk melatih diri kita, mengambil, mencontoh, dan meniru apa pun yang dibanggakan dari mereka. Sama pentingnya dengan menjaga diri kita, dari memiliki sifat sifat tidak baik yang mungkin saja akan kita miliki kelak yang tanpa sadar akan kita tiru.

Belajar memahami, adalah proses tanpa kenal kelulusan, karena di dunia ini tidak ada orang yang benar benar saling memahami, pun dengan kita dan diri sendiri. Tapi memahami adalah proses pembelajaran yang harus selalu kita lakukan, karena tanpa proses itu, kita tidak akan pernah mengerti betapa berharganya kita bagi mereka.

 Memahami "Ayah" adalah Pe Er yang tak ada habisnya. Perjalanan hidupnya yang luar biasa, buku buku yang dibacanya, karya karya yang ditulisnya, adalah rangkaian sejarah yang jika dibukukan sekali pun entah akan menghabiskan beberapa naskah.

Tapi lalu, saya cukup memahami satu hal, yang sangat sederhana, dan hanya dengan mengingatnya rasa sulit dalam memahami pun sirna seketika.

Satu hal yang saya pahami tentang Ayah "He loves me".

Selamat Hari Ayah.

Dear Papa, terima kasih.......

Jakarta, 12 November 2014






1 comment :

Unknown said...

yessss gue menemukan kata "Sesederhana itu" wkwkwkwk #TerRatih sekali postingan ini. ciyeeeh