IBU (Teater Koma) -- Sebuah Ulasan

Sebenarnya ini bukan resume yang terbaik. Selain sudah pernah terhapus karena sebuah kesalahan bodoh, masih banyak para blogger penikmat seni yang telah mengulas lebih komprehensif. Bahkan, karena keterbatasan gadget, saya hanya bisa mengambil foto-foto dari google saja.. hehe.

***

Well... ini mungkin memang bukan pertunjukan teater pertama yang saya hadiri. Hmm.. tapi bisa dibilang ini adalah pertunjukkan teater berkelas pertama bagi saya. Teater Koma sendiri merupakan salah satu teater ternama yang sudah menggarap beberapa karya para dramawan dunia antara lain William Shakespeare, Georg Buchner, Moliere, Aristophanes, Arthur Miller, George Orwel, Alfred Jarre, Friedrich Durrenmatt, Evald  Flisar, dan Bertolt Brech. Siapa mereka? Silahkan googling ya. Di antara semua karya yang dipentaskan Teater Koma tersebut saya hanya tahu Romeo Yuliet dari William Shakespeare. Haha.

Pementasan yang saya dan keempat teman AADT hadiri 14 November lalu itu berjudul IBU, disadur dari naskah BERTOLT BRECHT, seorang dramawan sekaligus penyair legendaris asal Jerman dengan judul asli Mutter Courage und Ihre Kinder (Mother Courage and Her Children). Disutradarai oleh N. RIANTIARNO, produksi ke 131 Teater Koma ini digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki.

Sosok IBU dan keretanya yang menggantung langsung menyambut kami di pintu masuk. Beberapa menit keterlambatan tidak mengurangi ke "excited"an saya akan pertunjukan ini. Meski harus mengeluarkan uang yang lumayan (setara dengan dua tiket XXI), tapi tidak mengapa. Bagi saya... pertunjukan teater selalu keren dan menarik. 

 
 photo by me

Saya langsung dibuat kagum oleh sosok Ibu Brani yang diperankan oleh Sari Madjid. Permainan karakter yang benar-benar hebat. Begitu kuat dan stabil. Seakan terperangkap pada alur cerita bersama sosok Ibu Brani yang tegas, penuh keberanian, dan gigih. Ibu Brani beserta ketiga anaknya- si sulung Elip, Fejos si Keju Swiss, dan si bungsu bisu Katrin- hidup di tengah peperangan antara dua resimen yang memperebutkan kekuasaan, yaitu Matahari Hitam dan Matahari Putih. Prinsip Ibu Brani, dia tidak mau terlibat tapi harus memperoleh keuntungan dari peperangan. Sedikitnya jumlah pedagang kelontong menyebabkan Ibu dan ketiga anaknya bisa leluasa berjualan dengan kereta warungnya.

 Ibu Brani dan ketiga anaknya (source: foto.ureport.news.viva.co.id)

 Ibu Brani (source yudasmoro.net)


Sayang, malang tak dapat ditolak. Meski sudah dilarang keras, secara berturut turut, Elip dan Fejos pun masuk menjadi tentara Matahari Hitam. Elip masuk terlebih dahulu sebagai prajurit, sementara Fejos masuk setelahnya sebagai Juru Bayar. Tinggallah Katrin si bisu yang menemani Ibu Brani berjualan. Ibu selalu berjanji kepada Katrin untuk mencarikan suami saat perang telah berakhir. Dia tak mau nasib putrinya sama seperti Ipit Poter (di naskah asli bernama Yvette Pottier), wanita jalang langganan warung Ibu Brani. Lalu, dua pria masuk ke dalam kehidupan ibu Brani. Kaplan, pendeta Matahari Hitam yang menyamar serta Domba si Koki (atau Piter si Pipa).

 Ipit Poter (source : nimadesriandani.wordpress.com)
 
 Ibu (tengah) di antara dua pria, Piter si Pipa (kiri) dan Kaplan si pendeta (kanan) (sumber : www.adjisubela.com)


Elip si sulung menikmati masa masanya menjadi prajurit. Kecerdasan yang selalu dibanggakan oleh Ibu Brani itu menjadikannya orang yang dipercaya oleh para jenderal. Tapi bukan peperanganlah namanya, jika seorang prajurit jauh dari bedil yang menembak. Sementara Fejos, meski kurang cerdas, tetapi kejujuran yang selalu dibanggakan Ibu juga membawanya menjadi orang kepercayaan.

 Elip (kanan), Jenderal (tengah), pendeta (kiri)  (sumber : nimadesriandani.wordpress.com)

Katrin Hupla namanya. Ia bisu. Tapi, di antara semua peran, dia adalah favorit saya. Padahal saat di awal, saya berpikir... "ih...garing amat dapat peran jadi orang bisu. Gak ada dialog yang harus dihapal". Coba bandingkan saja dengan sosok Ibu yang harus menghapalkan berbaris baris bahkan berlembar lembar dialog panjang. Tapi.... bisa jadi justru peran inilah salah satu yang tersulit. Diperankan oleh Ina Kaka, sosok Katrin adalah yang paling menarik perhatian, dan sekaligus paling banyak mengundang tawa. Keluguan, kepolosan, dan spontanitas tanpa katanya sukses mencuri hati penonton. Salah satu adegan yang paling saya ingat adalah saat Katrin begitu stress karena Fejos tak juga mengerti apa yang ia coba jelaskan. Seluruh anggota tubuh yang bergerak menggantikan bahasa kata yang tidak dimilikinya. Kalimat Fejos "hanya Ibu yang mengerti kamu" dan ekspresi stress Katrin langsung mengundang tawa kami.

 Katrin (kiri) dan Fejos (kanan) saat Katrin sedang berusaha menjelaskan keadaan bahaya pada Fejos. (sumber : nimadesriandani.wordpress.com)

Banyak adegan yang mengundang tawa bukan berarti ini adalah kisah komedi. Setelah Katrin gagal menjelaskan kepada Fejos tentang kedatangan prajurit musuh ke tempat mereka saat dia pergi, Fejos tetap meneruskan rencananya untuk membuang peti uang ke sungai. Dan tertangkaplah ia. Ibu Brani pun pada akhirnya melakukan tawar menawar untuk menebus anaknya melalui Ipit Poter. Tapi..waktu tawar menawar yang terlalu lama membuat semuanya terlambat. Fejos pun terbunuh dengan 11 tembakan di tubuhnya. Lebih menyedihkan lagi.... Ibu Brani terpaksa tidak mengakui jenazah anaknya saat prajurit itu datang membawa tubuh tergulai yang tidak bernyawa itu pada mereka. Adegan ini adalah adegan yang terbaik menurut saya. Kebisuan Ibu Brani, tangis tanpa kata dari Katrin... cukup menggambarkan suasana yang lebih dari sekedar kesedihan. Penyesalan, rasa kehilangan yang besar, ketidakberdayaan, terasa begitu nyata oleh akting yang minim kata saat itu. 

 Katrin dan Ibu Brani saat mendengar kematian Fejos. Oh maan.. saya paling suka adegan ini. (sumber : cabiklunik.blogspot.com)

Singkat cerita, perdamaian pun tiba. Perdamaian yang dinanti sejak lama. Saat di mana Katrin sudah dijanjikan Ibu untuk dicarikan seorang suami. Tapi ternyata perdamaian tak lagi indah. Katrin mendapatkan cacat di mukanya setelah sebelumnya diserang oleh prajurit saat perjalanan ke pasar. Ia tak lagi mau bertemu siapa pun. Selain itu, bagi Ibu Brani, perdamaian berarti kebangkrutan karena kereta warungnya tak lagi ramai. Saat semua orang berbahagia karena perang, Ibu dan Katrin justru tenggelam dalam kepasrahan nasib.

Elip yang ditunggu tunggu pun datang. Tapi saat itu, Ibu tengah ke pasar untuk menjual kembali barang dagangannya. Tapi Elip datang tidak sebagai pria bebas. Ia datang bersama dua polisi. Kebiasaannya membantai petani saat jaman perang dulu, membawanya ke dalam posisi sulit. Belum sempat bertemu ibunya, ia pun pergi bersama kedua polisi tersebut.......dan tidak pernah kembali.

Perdamaian setelahnya tinggallah nama. Perang berkecamuk lagi. Setelah ditinggalkan oleh Kaplan si pendeta, kini giliran Piter yang menemani Katrin dan Ibu. Kehidupan mereka semakin sulit. Rakyat semakin miskin dan tidak mampu membeli. Sampai suatu ketika, Piter mengajak Ibu untuk hidup bersamanya mengurus bisnis penginapan. Tapi sayang, pria itu tidak ingin Katrin yang bisu dan cacat turut serta. Dan karena itu, Ibu Brani meninggalkan Piter. Tinggallah mereka berdua saja yang menarik gerobak...

Kisah ini pun mencapai akhirnya. Saat Katrin yang lugu, polos, dan naif mengeluarkan keberaniannya membunyikan genderang untuk meminta bantuan. Upayanya menuai hasil... tapi sayang, itu adalah keberanian pertama dan terakhir yang dikeluarkannya. Katrin pun tertidur untuk selamanya akibat luka tembak dari prajurit Matahari Putih.

kematian Katrin (source : www.jakpost.travel)

Tidur,tidurlah anakku sayang
Tiada lagi yang perlu kau risaukan
Satu anakku mati di tanah seberang
Satu lagi entah di mana sekarang
-senandung sang Ibu sambil mengusap jenazah putrinya-

Ibu Brani pun tetap melangkah dalam perang yang masih berkecamuk, menarik keretanya, sebatang kara.....
 
-the end-

***

Ini bukan kisah tentang hubungan romantis antara anak dan orangtua. Tidak juga bercerita tentang kisah mengejar impian dan cita-cita. Bagi saya kisah ini seakan mengatakan bahwa bertahan hidup bukanlah perkara yang mudah. Kita akan selalu dihadapkan dalam pilihan. Seperti Ibu yang memilih kereta warung untuk berjualan demi mempertahankan hidup. Seluruh dunia boleh mengutuk peperangan. Tapi baginya, perang adalah ladang uang. Tapi.... peperangan tetaplah peperangan, tak pernah sedikitpun membawa kebaikan. Baik bagi pihak yang menang maupun bagi pihak yang kalah, peperangan tetap merupakan nestapa untuk rakyatnya. Bahkan bagi orang yang mengambil untung dari peperangan seperti Ibu Brani, tetap saja peperangan merenggut harta yang paling berharga, anak-anaknya.

Selebihnya ini adalah kisah tentang kondisi peperangan, kebusukan penguasa, korupsi, penyuapan, dan hal-hal sejenis bernama 'ketamakan' yang hidup bersama perang.

It was totally awesome...

Makasih buat Teguh, Nita, Offi, Lisdha, dan Arga (meski gak jadi nonton).
Resume yang "apalah ini" saya tulis secara khusus untuk AADT. :)

1 comment :

Unknown said...

kak,, boleh minta naskah nya nggak :)