Seniku untuk Kehidupan
Cerpen#3 : Onion Princess
“ICAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” raungan keras yang dapat memecah membran timfani di telinga kita seandainya frekuensinya diperbesar sedikit itu mengejutkan keseharian penghuni rumah itu. Gadis dengan jilbab putihnya menghela nafas panjang dan membuka pintu kamarnya. Nyanyian ”ICA”, suara tak bernada itu, semakin mempercepat langkahnya keluar kamar dan berjalan menaiki tangga satu persatu menuju sumber suara itu.
“Ada apa kak?” gadis itu mendatangi sumber suara dan ia sepertinya menyesal karena tidak membawa tutup telinga yang semestinya.
“DENGER YA!!!! HARI INI GW SAMA ARA MAU PARTY. KITA GAK MAU TAHU POKOKNYA LU GAK BOLEH ADA DI SINI” Bukan. Gadis itu bukan Cinderella.
“JANGAN LUPA! CUCIAN GW DI LAUNDRY AMBIL PAGI INI JUGA. MAU GW PAKE”. Gadis itu juga bukan upik abu apalagi bawang putih karena si pemilik suara bukan bawang merah ataupun bawang bombay. Gadis itu hanya mengangguk tanpa komentar.
“INGET! 3 HARI!!! LO GAK BOLEH DI RUMAH SELAMA 3 HARI” sekali lagi gadis itu mengangguk. Merasa sudah beres intruksinya, ia melangkah meninggalkan si sumber suara.
“ICAAAA!!!! SIAPA YANG SURUH LO PERGI??” sebuah suara yang serupa tapi tak sama memanggilnya. Ya, nama gadis itu adalah Ica, lengkapnya Aisyah Ramadhani. Gadis itu adalah aku yang semakin tak mengerti apa mau kedua orang ini. Gadis yang sedari tadi diam dan hanya mengangguk mendengarkan intruksi itu adalah aku. Bukan upik abu, bukan cinderella, bukan bawang putih, bawang bombay atau semacam itu. Kedua suara itu adalah milik kakak kembarku, Ara dan Aya. Yah, memang sih, sekilas mereka memang terlihat seperti bawang merah yang sangat tidak tahu aturan.
“JANGAN LUPA. CUCI MOBIL GW!!!!” atau bahkan mereka benar-benar bawang merah. Yah, terserahlah. Anggap saja aku sebagai bawang putih dengan dua bawang merah yang lebih pedas dibanding kedua saudara Cinderella dan terkadang memperlakukanku lebih buruk daripada Upik Abu.
“TERUS, GW GAK MAU DI RUMAH INI ADA DEBU SEDIKIT AJA. BISA MALU GW SAMA TEMEN2 GW!!!!” Tanpa kujelaskan pun memang kelihatannya seperti itu. Sebuah persepsi awam.
“KALO NYOKAP SAMA BOKAP GW PULANG, JANGAN BILANG APA-APA!” bedanya, aku bukan saudara tiri mereka. Sama sekali bukan.
“AWAS KALO LO LAPOR YANG MACEM-MACEM!!!” aku juga bukan korban sister abuse.
“DAH SANA PERGI!!!” tapi aku benar-benar penghuni rumah dua lantai ini dan dikenal sebagai saudara kedua bawang merah ini.
Kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Masih jam enam pagi. Aku pun menjalankan intruksi pertama sang bawang merah. Kakiku berjalan keluar dari rumah menuju laundry and dry cleaning yang hanya beberapa blok dari rumah ini. Ya, sekilas aku memang terlihat seperti upik abu yang tak lepas dari kerjaan ini dan kerjaan itu, tugas begini dan tugas begitu. Tapi sekali lagi kutegaskan, saudara-saudaraku boleh disebut sebagai bawang merah. Tapi aku tidak setuju kalau mereka itu disebut bawang merah yang kejam. Karena aku pun bukan bawang putih yang malang, cinderella yang memprihatinkan, ataupun upik abu yang sial. Aku adalah Ica, Aisyah Ramadhani yang sampai hari ini menganggap para bawang merah itu adalah saudaraku. Mungkin.
Jam enam pagi. Laundry memang sudah buka. Pemiliknya amat ramah dan menyenangkan.
“Ambil baju lagi neng?” sapa wanita setengah baya yang kira-kira seumur dengan tukang kantin di sekolahku itu.
“Iya...bajunya kak Aya. Nih bonnya..” kataku berusaha sesopan mungkin. Bibi itu tersenyum dan langsung mengambilkan sebuah gaun hitam yang terbungkus plastik dengan sangat rapi.
“Makasih ya Bi” kataku sambil tersenyum.
“E,iya, neng Ica. Kemaren ada yang nyariin tuh” kata si bibi menghentikan langkahku.
“Oh ya? Siapa?” tanyaku heran. Setahuku, teman-teman sekolahku tidak ada yang tahu alamat rumahku dan mereka memang tidak perlu tahu.
“Cowok. kayaknya seumuran neng deh. Eh nggak lebih tua sedikit. Lumayan cakep lho neng” kata si bibi membuatku bingung. Kucoba ingat-ingat. Hmm, terlalu banyak yang penting-penting, jadi lupa. Aku berpikir dan terus berpikir...duh..jangan lama-lama..nanti kak Aya marah-marah lagi. Kasihan kan.....bisa cepat tua.
“Yaudah..dipikirinnya ntar aja neng. Gih pulang sana...ntar neng Aya nungguin trus neng diomelin lagi” kata si Bibi seakan bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum pada si bibi. Memang kisah bawang merah dan bawang putih di rumahku bukan rahasia umum lagi. Aku menuruti kata-kata si bibi dan pergi ke rumah.
Suatu hal yang menguntungkan karena gaun kak Aya sampai ke tangannya dengan sempurna dan tanpa cacat. Biasanya, lecek sedikit saja dia akan menyanyikan lagu “Ica” yang tak bernada itu sekali lagi. Aku pun menjalankan intruksi kedua, bersih-bersih dan semua itu kukerjakan sampai pukul tujuh. Cepat bukan? Sudah biasa. Di luar, mobil kak Ara tampaknya tidak terlalu kotor sehingga aku bisa menyelesaikan semua intruksi hingga pukul delapan pagi.
“Kak, aku duluan. Assalamualaikum....” kataku sudah lengkap dengan sepatu, tas dan seragam sekolah dan tak lupa, perlengkapan menginap selama 3 hari. Untungnya, pagi ini dua jam pelajaran pertama adalah olahraga. Aku sudah cukup berkeringat oleh intruksi kakak kembarku sehingga tak perlu menyesal ketinggalan jam pelajaran olahraga. Mmm…mungkin 10 menit pertama pelajaran Fisika akan terlewat dan itu sangat tidak menyenangkan. 10 menit terlalu berharga untuk dilewatkan, apalagi pada salah satu mata pelajaran yang .mungkin kusuka tapi tak terlalu kubisa. Bagaimana pun, ketinggalan pelajaran Fisika adalah malapetaka karena sekali ketinggalan aku akan terus ketinggalan. Makanya kuputuskan menggunakan jasa ojek dan sampai sekolah tepat pukul 08.15.
“Aisyah, sudah beberapa kali ibu bilang……”
“Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Saya tahu bu” kataku menyela kata-kata Bu Rini tak lupa dengan senyum yang sudah kuset sedemikian rupa agar ia tidak marah secara berlebihan.
“Terus…??” lanjutnya memojokkanku seraya mencoba mengorek-ngorek alasan kenapa aku terlambat.
“Kerjaan saya menumpuk Bu. Saya tak perlu menyebutkan satu-satu kan bu? Dari mulai mengerjakan hal yang penting sampai yang tidak penting. Penting gak penting sih tetap harus dikerjain karena kalau nggak bisa berabe. Jadi, saya telat deh” kataku mulai memberi alasan.
“Hukuman saya setelah pelajaran Fisika saja ya bu. Nanti saya ketinggalan pelajaran pak Sugi. Bisa gawat. Kalau hanya remedial sih tidak apa. Tapi kalau sampau angka merah bereret di rapor kan gak enak. Ibu tahu sendiri kan, pak Sugi paling tidak suka kalau ada anaknya yang remedial” lanjutku sempat memotong ketika bu Rini berniat membuka mulut.
“Belum lagi harus mereview pelejaran-pelajaran kemarin berhubung sudah kelas tiga kan bu. Terus….”
“Iya..iya..cukup. Masuk sana. Jam istirahat nanti ambil hukuman kamu di meja piket” kata bu Rini seakan pusing mendengar celotehku yang sengaja kubuat panjang lebar. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada beliau. Pak Sugi eh maksudku Fisika...I’m Coming!
“Assalamualaikum. Misi Pak……” kataku begitu sampai pintu kelas. Sorakan anak-anak sudah tak asing lagi pagi itu.
“Kamu terlambat 15 menit pelajaran saya. Tak boleh masuk!!” kata pak Sugi memerintah sebelum kulangkahkan kakiku ke dalam. Lima belas menit?? Bukan sepuluh??? Oh tidaaaak. Perkiraanku salah….
“Tapi Pak????” kataku memaksa.
“KE PERPUSTAKAAN! Saya tidak mau menerima murid yang terlambat.” Perintah pak Sugi lagi. Oh..No. sejak kapan guru yang kuharap guru kesayanganku itu jadi sangat kejam (sebelumnya hanya kejam saja).
“Pak…saya capek-capek ke sekolah kan mau belajar” kataku memelas.
“Banyak yang bisa kamu dapatkan di perpustakaan. Silahkan” katanya sekali lagi. Aku menghela nafas kecewa. Huh….pengorbananku naik ojek ternyata sia-sia. Kupandang teman-temanku dan ternyata mereka diam. Pak Sugi lagi sensi. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Nora, teman sebangkuku dan beberapa anak lainnya lewat tatapan mata mereka. Aku pun mengerti.
“Ya sudah pak. Terima kasih” kataku. Aku berbalik dan segera menuju perpusatakaan, atau mungkin guru piket. Masih ada hukuman yang bekum terlaksana dari bu Rini. Tidak berat, hanya menulis Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Kata-kata yang sampai sekarang tak pernah bisa kumengerti. Lebih buruk mana dengan teriakan aneh dari kakak-kakakku kalau aku meninggalkan pekerjaan rumah barang sehari saja? Tidak ada yang lebih buruk, keduanya masih satu spesies.
Aku langsung ke perpustakaan begitu menerima tugas dari Bu Rini.
“Eh..Ica. Terlambat ya??” sapa penjaga perpus melihatku masuk masih mengenakan ransel hijauku yang sudah banyak termodifikasi oleh tempelan pin-pin yang kusuka. Aku meletakkannya dan langsung mengincar koran yang terletak di dekat pintu masuk.
“Iya nih pak. Mana gak boleh masuk lagi” Jawabku sambil mencari-cari Koran kompas hari ini.
“Sabar neng. Belajar di sini juga gak rugi-rugi amat kok” kata pak Salim, nama penjaga perpus itu sambil memeriksa absensi perpus.
“Yah…semoga saja. Coba kita lihat. Berita apa pagi ini” kataku duduk pada salah satu kursi di perpustakaan itu.
“Absen dulu neng…”kata pak Salim menyodorkan absensi perpustakaan padaku. Aku mengambilnya. Aisyah Ramadhani….xii ipa 3….diharapkan dapat belajar di perpus. Begitulah kira-kira yang kuiisi.
“Waah, akhirnya Madrid menang juga..”gumamku kecil setelah selesai urusan dengan absen.
“Neng ke sini cuma buat baca Koran?” Tanya pak Salim heran. Aku dengan cueknya mengangguk.
“Bukannya benda pertama yang saya cari di perpustakaan itu koran?” tanyaku meyakinkan pak Salim bahwa aku benar-benar Ica, si bocah koran.
“Memang gak ada tugas karena telat?” Tanya pak Salim.
“Innalillahi..” aku tersadar, masih ada yang lebih penting dibanding melihat berita pagi hari ini. Oh…aku berharap ini yang terakhir aku menulis kata-kata konyol yang tak kumengerti itu.
Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Aku harus mengulangi serangkaian kalimat itu sebanyak menit aku terlambat, dengan kata lain, aku harus menulisnya sebanyak Sembilan puluh lima kali, dan percayalah, ini sangat membosankan.
Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Hoaaaaaaaaammmm…… melelahkan, membosankan, ngantuuk.
Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Tanganku mulai lemas. Aku baru ingat kalau tadi malam aku baru tidur jam dua.
Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Mataku mengatup dan membuka tanpa perintah. Aku juga baru ingat, kalau aku belum memutuskan akan tidur di mana malam ini.
Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Ahh….tiba-tiba saja aku tak ingat apa-apa, semuanya gelap.
Aku memimpikannya lagi, hal yang sangat ingin aku lupakan. Wajah-wajah kecil dengan sayap malaikat, dan seorang pangeran di antara mereka. Dengan lembutnya, ia memanggil namaku. ”Ica”…aku berlari ke arah mereka. Panggilan lembut itu terulang kembali…
“Ica…”
“ICAAAAAAAAAAAAAAAAAA” suara yang lembut itu mendadak pecah, aku pun tersadar dari tidurku.
“Nora….” Kataku setelah tahu siapa suara yang ber’Ica’ pecah itu.
“Gila lo…..tidur di perpus. Di UKS tuh enak” kata Nora duduk di hadapanku, aku pun langsung sadar bahwa sekarang sudah masuk jam istirahat pertama.
“Sholat Dhuha yuk….” Kata Nora.
“Gw lagi gak sholat Ra. Gw di sini aja deh, ada tugas gara-gara terlambat” kataku memperlihatkan satu kalimat membosankan yang kutulis ulang baru sebanyak tiga puluh kalimat itu.
“Yaudah…gw duluan ya…”kata Nora. Aku tersenyum mempersilahkan..
“Eh Ra….” Kataku menghentikan langkahnya. Aku berpikir untuk menginap di rumah Nora lagi malam ini, tapi,
“Gak jadi deh….” kataku membatalkan. Aku terlalu sering merepotkan sahabatku itu, bulan ini saja, sudah lima kali aku menginap di rumahnya gara-gara kakakku.
“Dasar aneh. Yaudahlah. Gw sholat dulu deh. Mmmm, oh iya, hari ini pak Anton, bu Cece dan pak Kurdi gak masuk. Jadi habis istirahat ini kita gak ada pelajaran lagi” kata Nora.
“Apa?? Oh….No!! kita kan udah kelas 3 Ra. Masa masih ada jam kosong sih” kataku seakan-akan peduli dengan sebuah idealisme bahwa mendekati ujian akhir harus serius belajar, padahal ada sedikit tawa yang hampir pecah.
“Iya..sebagai gantinya, habis istirahat akan ada Try Out dadakan” kata Nora enteng.
“APA???!!” suara ‘Apa’ ku lebih tegas dari sebelumnya. Memikirkan bahwa masih ada Sembilan puluh kata Terlambat adalah malapetaka bagi kedisiplinan yang belum kukerjakan saja membuatku sesak napas.
“Makanya kalo lo ke kantin, gak bakalan nemu anak-anak. Lagi pada belajar semua, yah…kecuali yang udah gak perlu belajar kayak Galih, Ratna…’
“Elo…” kataku seraya melanjutkan kata-kata sahabatku yang sudah sangat expert di bidang Matematika dan Bahasa itu. Dia hanya tertawa kecil. Ternyata banyak sekali yang harus dikerjakan dan aku sama sekali belum memutuskan akan menginap di mana malam ini.
“AAAAh….soal apa ini? gak yakin gw kita bakal dapat soal segila ini. Apa yang akan terjadi pada anak pedalaman Papua kalau standar Indonesia soalnya setinggi ini? Oh tidak..Mama..Papa..aku mohon, maafkan jika nanti aku mengecewakan kalian” suara Leo memecah keheningan kelas sesaat setelah kertas dibacakan.
“Menjelang ujian, semua menggila…” kata Nora menggumam. Aku terpaku pada 30 soal Matematika di hadapanku yang tiba-tiba mengingatkanku kepada masa depan yang telah aku pikirkan jauh sebelum aku mengenal dunia putih abu-abu. Arsitek. Sebuah profesi yang membutuhkan kemampuan daya nalar Matematis yang tinggi. Kalau soal seperti ini saja tidak bisa kuselesaikan, bagaimana bisa kugapai kampus di kota kuliner yang terkenal dengan dunia desain grafis dan keteknikannya itu Ah, ternyata sembilan puluh kalimat yang harus kutulis dari Bu Rini memberi efek samping yang buruk. Tiba-tiba saja aku merasa berhadapan dengan lembah yang dalam bernama Ujian.
“Hai, Putri Bawang” seseorang berbicara padaku di perjalananku lima langkah keluar dari pintu gerbang sekolah.
“Hans? Ngapain lo di sini?” tanyaku pada sesosok pemuda tanpa seragam yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Tiba-tiba saja aku teringat mimpiku tadi tentang malaikat dan pangeran. Hans adalah orang yang pernah bertemu denganku di suatu perkumpulan anak jalanan. Sebuah tempat yang telah mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan. Ah, baiklah, aku mengaku. Dialah lebih tepatnya yang menemukanku, setahun yang lalu, saat kedua kakakku memulai hobi mengusirku karena pesta.
“Elo sih. Ngilang gitu aja. Anak-anak udah suka banget tuh sama lo. Gw sampe harus nyelidikin lo sampe ke rumah lo segala buat tau keberadaan lo. Gw sampe nanya segala sama tante laundry” ucapnya.
“Oh..jadi itu asal-usul julukan baru lo buat gw?” tanyaku sambil berjalan menghindarinya. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Mana mungkin aku bisa melupakan wajah-wajah kecil itu. Yang memanggilku “kakak” dengan polosnya Memang sih, terkadang mereka bau, dekil, belum mandi. Tapi setahun yang lalu, bermain bersama mereka adalah hal yang menyenangkan. Sampai ketika itu aku menyadari bahwa aku tak bisa terus bersama mereka.
“Ca.,..ye, tungguin. Gw belum beres ngomong” katanya berhasil menghadangku kembali.
“Hans, gw kan udah bilang. Gw gak bisa balik ke tempat itu lagi” kataku menghindar.
“Please Ca….” katanya menghadang lagi.
“Hans, lo pernah kan ngerasain jadi kelas 3 SMA. Gw harus serius belajar. Gw gak bisa main-main terus” kataku menegaskan.
“Berarti habis ujian bisa kan Ca?” tanya Hans lagi. Aku kembali menggeleng.
“Lo pikir gw bisa tahan, main panas-panasan, jadi dekil, bau…” kataku yang pada akhirnya harus mengeluarkan kata-kata pedas.
“Ck ck…Bohong. Lo sebenarnya cuma lari kan? Lo gak bisa terus menerus ketemu dengan mereka karena lo seperti melihat diri lo sendiri di sana” kata Hans yang sukses membuat langkahku terhenti.
“Lo bukan seorang anak dari pengusaha garmen terkemuka di Jakarta. Lo itu cuma Ica. Status sosial lo emang anak, tapi status lo yang sebenarnya adalah yatim piatu. Lo sesungguhnya sendirian di dunia ini. Sama seperti mereka. Bedanya hanya, lo punya rumah yang layak, dan mereka tidak” kata Hans masih belum menyerah. Kalau saja aku boleh menyentuhnya maka akan kutampar saat ini juga. Meskipun kesal, tapi seluruh kata-katanya adalah benar.
“Kenapa? Kesal? Kalau semua itu gak bener, kenapa lo harus ngalah sama kedua kakak angkat lo? Kenapa lo harus berkali-kali keluar dari rumah? Apa bedanya lo sama anak jalanan? Paling nggak mereka gak nyusahin rumah orang lain untuk lo inepin kan?” katanya dan sekali lagi benar karena rumah Nora sekali lagi terbayang olehku. Benar-benar sialan anak ini.
“Dan lo pergi dari kita semua hanya karena mereka membuat lo menyadari status lo sebenarnya…”
“CUKUP!!” kataku bernada tinggi. Aku merasa kelopak mataku basah. Aku benar-benar kesal. Tapi tiba-tiba saja pemuda itu berlutut di depanku.
“Hans?” tanyaku.
“Riri sudah lama demam tinggi. Gw udah mau bawa dia ke dokter, tapi dia gak mau. Dia bilang dia kangen sama lo. Jody mulai kehilangan semangat belajarnya, dia kembali menghabiskan hari-harinya dengan mengamen di lampu merah, non-stop. Lo tau Ca? Gw cuma bisa membuat mereka tertawa dan bersemangat menjalani hari. Tapi cuma elo, yang bisa mengajarkan mereka caranya bermimpi” Kata Hans melembutkan suaranya dan berdiri kembali. Hans sebenarnya bukan anak jalanan seperti adik-adik yang diasuhnya. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tingkat 2 yang sangat hobi berkeliaran di jalan. Hidup bersosialisasi sudah menjadi bagian dari kesehariannya.
“Hari ini kita ngumpul di tempat biasa. Gw berharap bisa bujuk Riri ke dokter hari ini. Kalo lo gak ada kegiatan, gw mohon lo datang” katanya lalu pergi meninggalkanku dengan tas besarku. Aku masih terpaku di ujung jalan melihat sosok pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu. Perasaan kesalku berubah menjadi sesal dan kurasa siapapun bisa menebaknya, bahwa kakiku berjalan sesuai dengan apa yang kata hatiku perintahkan.
“Kak Hans, sudah ketemu kak Ica?” sosok mungil itu bertanya dengan nada lemah di kursi yang terbuat dari jok mobil bekas yang sudah tidak terpakai dan berselimutkan kain dengan banyak tambalan.
“Riri, daripada itu, kita ke dokter aja yuk. Biar diobatin sama dokter” kata Hans membujuk. Anak itu menggeleng.
“Kak Ica pernah bilang, kalau Riri ini anak yang kuat. Makanya, kalau sudah besar, Riri ingin sekali jadi atlet wanita, atau jadi pendekar silat biar gak digangguin sama orang jahat. Masa jagoan kayak gitu ke dokter kak? Gak cocok” kata Riri mencoba menjelaskan.
“Gadis kecil bodoh. Atlet hebat, kalau sakit gigi juga pergi ke dokter gigi kan….” Kataku masuk tiba-tiba menghampiri tubuh kecil yang terbaring itu.
“Kak Ica…..” gadis kecil itu secara spontan memelukku saat aku mendekat, begitu juga dengan yang lainnya. Hans hanya tersenyum penuh makna melihatku berada di dalam markas itu. Aku benar-benar bodoh karena berusaha menyingkirkan mereka dari kehidupanku. Padahal aku pernah merasakannya, masa-masa di mana aku tak tahu siapa diriku. Sampai keluarga Yulianto menemukanku yang begitu mirip dengan anak perempuan mereka yang baru saja meninggal ketika itu. Mereka yang menyadarkanku dan mengajariku bermimpi, memiliki cita-cita, dan mengajariku arti kehidupanku yang sesungguhnya. Membuatku melupakan dari mana diriku berasal. Tidak hanya keluarga, tapi aku pun juga merasakan rasanya memiliki seorang sahabat. Nora bagiku adalah harta yang tiada duanya. Lalu kemudian aku bertemu mereka semua. Semula aku senang, tapi lama kelamaan aku mulai mengingat kembali apa yang sudah lama ingin aku lupakan, fakta yang menyebutkan bahwa sebenarnya aku ini bukan siapa-siapa.
Hari ini pun berlalu. Dan aku masih belum tahu akan menginap di mana malam ini.
“Kak Ica, gak pulang? Nanti dicariin sama keluarga kakak.” kata Jody, anak berambut hitam dan berkulit gelap namun sangat manis dan bercita-cita menjadi pilot. Aku tersenyum kecil.
“Kalian kan juga keluargaku” kataku.
“Memangnya kakak gak punya ayah dan ibu juga?”Tanya Doni, anak lelaki kurus dan bermuka bulat yang bercita-cita menjadi tentara. Pertanyaan itu, pagi tadi mungkin akan kujawab dengan gelengan kepala. Tapi hari ini…
“Ayo pulang. Gw antar” kata Hans tiba-tiba saja sudah memegang tasku.
“Tapi…” kataku tak tahu apa.
“Kalian istirahat ya, besok kita belajar lagi. Salam buat tante Romi. Assalamualaikum. Yuk Ca” kata Hans pergi duluan.
“Hhh…mau gimana lagi. Aku pergi dulu ya….daaaah. Assalamualaikum..” kataku pada malaikat-malaikat kecil itu. Aku pun lekas mengejar Hans.
“Hei…..lo gila kalo mikir gw mau nginep di rumah lo” kataku penuh dengan kecurigaan. Hans tersenyum kecil.
“Emang lo punya pilihan lain? Yaudah, mau nginep di hotel aja?” Katanya sambil mengerdipkan mata.
“Gila!!! Sini tas gw!!” kataku marah.
“Eh…Gw becanda tau. Gini-gini gw juga aktif di acara-acara masjid kampus. hehe” katanya menyeringai.
“Terus, apa maksud lo bawa-bawa tas gw seakan tau gw mau ke mana?” tanyaku dan Hans kembali tertawa.
“Ya ke rumah lo lah. Gimana juga rumah keluarga Yulianto kan rumah lo juga” katanya santai dan membuat marah ku berubah menjadi bingung.
“Tapi…..” kataku mencoba menyangkal.
“Dulu, waktu gw seumuran sama lo, gw ketemu sama teman-teman SD gw di suatu acara reunian” katanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam mengikuti langkah kakinya.
“Di saat gw menikmati masa-masa SMA gw dengan prestasi yang gemilang, gw ketemu mereka. Beberapa ada yang putus sekolah, yang cewek ada yang Married by Accident trus ditinggalin suaminya gitu aja. Miras yang merupakan hal tabu buat sekolah gw menjadi hal yang biasa buat mereka. Bahkan ada beberapa yang gak datang ke acara tersebut yang gw baru tahu bahwa mereka putus sekolah, dan sempet nge-drugs” katanya mulai bercerita.
“Lo tau apa yang paling menyedihkan? Adalah ketika gw tidak melihat adanya masa depan di depan teman-teman gw yang pernah main bareng sama gw. Gw merasa bersalah. Dulu keluarga gw miskin, sama kayak mereka. Bagi orang kelas menengah ke bawah seperti kami, hanya bermimpi lah satu-satunya cara untuk memiliki masa depan. Dan kesalahan terbesar gw adalah, gw gak pernah mengajak mereka bermimpi bersama. Gw sibuk dengan impian gw sendiri” katanya.
“Makanya lo sekarang ini jadi aktivis sosial spesialis anak-anak jalanan?” tanyaku kemudian. Hans kembali tersenyum.
“Ya, makanya juga, gw bahagia waktu lo datang, dan lo mengajarkan mereka tentang cita-cita. Seketika mereka langsung bersemangat” lanjutnya.
“Tapi, gw takut yang gw berikan ke mereka itu cuma impian kosong” kataku.
“Menurut lo, apa yang terjadi saat lo nembak bulan?” Tanya Hans lagi. Aku melihat langit yang saat itu memang sudah gelap, dan aku menggeleng.
“Kalau pun meleset, paling nggak, lo akan mendapatkan bintang. Itulah yang akan terjadi pada anak-anak itu” kata Hans. Aku tersenyum.
Tahun ini mungkin menjadi masa-masa terakhirku sebagai seorang remaja SMA. Tetapi, aku bersyukur karena di saat-saat terakhir, banyak hal berharga yang kudapatkan.
“Sampai..” kata Hans begitu kami sampai di depan rumahku.
“Thanks Hans….gw masuk ya” kataku. Hans pun tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Meski berbeda dua tahun, tapi aku tak pernah merasa Hans adalah seorang mahasiswa. Ia sangat pandai menempatkan dirinya untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Tapi hari ini, aku merasa bahwa dia jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Ah..aku pun harus tumbuh dewasa dan segera melepaskan seragam putih abu-abu ini bukan?
Tok Tok Tok. Seseorang membuka pintu. Seorang pria yang tengah memegang sekaleng birdy coffee tercengang melihat kedatangan gadis dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel besar.
“Hai, perkenalkan. Saya Aisyah, adik dari kak Aya dan Kak Ara. Boleh masuk?” kataku polos dan seketika itu juga aku mendengar nyanyian merdu kedua kakakku lagi.
“ICAAAAAAAAAAAAAAA!” Putri Bawang telah kembali ke rumahnya.
Just Dreaming
Cerpen#2 : Buku Merah jambu untuk Sebuah kisah
cerpen#1 : Tunjuk satu Bintang