Seniku untuk Kehidupan



Ketika malam membutuhkan teman untuk bermimpi
Akan kunyanyikan sebuah lagu pengusir sepi
Ketika matahari mulai enggan untuk tertawa
Kan kulukiskan sebuah senyuman agar ia kembali merona
Ketika senja tak kuasa untuk berlari
Aku akan mengajaknya menari bersama peri
Ketika fajar menghapus keramahannya
Sebuah dongeng dari negeri seberang akan kuceritakan untuknya

Jangan pernah takut
Ketika dunia ini menjadi hitam sepenuhnya
Karena puisi hati akan menghapusnya dengan putih
Jangan pernah sedih
Ketika roda harapan berhenti berputar
Karena goresan sketsa cita-cita akan tetap membuatnya melaju tanpa gentar

Kehidupan tak kan pernah cukup memberikan derita
Pada jiwa yang tak pernah mengerti fananya dunia
Kehidupan juga tak pernah bosan
Mengajarkan betapa kelamnya masa depan
Untuk insan yang enggan melangkah menjemput angan
Akan tetapi.....
Meski pun kehidupan juga tak pernah lelah memberikan air mata
Sebuah sentuhan kreatifitas dapat mengubahnya menjadi indah di rasa

Maka jangan pernah mundur menghadapi kenyataan
Karena tak ada harga mati
Untuk seni menghadapi ketidakpastian

Cerpen#3 : Onion Princess



“ICAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” raungan keras yang dapat memecah membran timfani di telinga kita seandainya frekuensinya diperbesar sedikit itu mengejutkan keseharian penghuni rumah itu. Gadis dengan jilbab putihnya menghela nafas panjang dan membuka pintu kamarnya. Nyanyian ”ICA”, suara tak bernada itu, semakin mempercepat langkahnya keluar kamar dan berjalan menaiki tangga satu persatu menuju sumber suara itu.
    “Ada apa kak?” gadis itu mendatangi sumber suara dan ia sepertinya menyesal karena tidak membawa tutup telinga yang semestinya.
    “DENGER YA!!!! HARI INI GW SAMA ARA MAU PARTY. KITA GAK MAU TAHU POKOKNYA LU GAK BOLEH ADA DI SINI” Bukan. Gadis itu bukan Cinderella.
    “JANGAN LUPA! CUCIAN GW DI  LAUNDRY AMBIL PAGI INI JUGA. MAU GW PAKE”. Gadis itu juga bukan upik abu apalagi bawang putih karena si pemilik suara bukan bawang merah ataupun bawang bombay. Gadis itu hanya mengangguk tanpa komentar.
    “INGET! 3 HARI!!! LO GAK BOLEH DI RUMAH SELAMA 3 HARI” sekali lagi gadis itu mengangguk. Merasa sudah beres intruksinya, ia melangkah meninggalkan si sumber suara.
    “ICAAAA!!!! SIAPA YANG SURUH LO PERGI??” sebuah suara yang serupa tapi tak sama memanggilnya. Ya, nama gadis itu adalah Ica, lengkapnya Aisyah Ramadhani. Gadis itu adalah aku yang semakin tak mengerti apa mau kedua orang ini. Gadis yang sedari tadi diam dan hanya mengangguk mendengarkan intruksi itu adalah aku. Bukan upik abu, bukan cinderella, bukan bawang putih, bawang bombay atau semacam itu. Kedua suara itu adalah milik kakak kembarku, Ara dan Aya. Yah, memang sih, sekilas mereka memang terlihat seperti bawang merah yang sangat tidak tahu aturan.
    “JANGAN LUPA. CUCI MOBIL GW!!!!” atau bahkan mereka benar-benar bawang merah. Yah, terserahlah. Anggap saja aku sebagai bawang putih dengan dua bawang merah yang lebih pedas dibanding kedua saudara Cinderella dan terkadang memperlakukanku lebih buruk daripada Upik Abu.
    “TERUS, GW GAK MAU DI RUMAH INI ADA DEBU SEDIKIT AJA. BISA MALU GW SAMA TEMEN2 GW!!!!” Tanpa kujelaskan pun memang kelihatannya seperti itu. Sebuah persepsi awam.
    “KALO NYOKAP SAMA BOKAP GW PULANG, JANGAN BILANG APA-APA!” bedanya, aku bukan saudara tiri mereka. Sama sekali bukan.
    “AWAS KALO LO LAPOR YANG MACEM-MACEM!!!” aku juga bukan korban sister abuse.
    “DAH SANA PERGI!!!” tapi aku benar-benar penghuni rumah dua lantai ini dan dikenal sebagai saudara kedua bawang merah ini.
    Kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Masih jam enam pagi. Aku pun menjalankan intruksi pertama sang bawang merah. Kakiku berjalan keluar dari rumah menuju laundry and dry cleaning yang hanya beberapa blok dari rumah ini. Ya, sekilas aku memang terlihat seperti upik abu yang tak lepas dari kerjaan ini dan kerjaan itu, tugas begini dan tugas begitu. Tapi sekali lagi kutegaskan, saudara-saudaraku boleh disebut sebagai bawang merah. Tapi aku tidak setuju kalau mereka itu disebut bawang merah yang kejam. Karena aku pun bukan bawang putih yang malang, cinderella yang memprihatinkan, ataupun upik abu yang sial. Aku adalah Ica, Aisyah Ramadhani yang sampai hari ini menganggap para bawang merah itu adalah saudaraku. Mungkin.
    Jam enam pagi. Laundry memang sudah buka. Pemiliknya amat ramah dan menyenangkan.
    “Ambil baju lagi neng?” sapa wanita setengah baya yang kira-kira seumur dengan tukang kantin di sekolahku itu.
    “Iya...bajunya kak Aya. Nih bonnya..” kataku berusaha sesopan mungkin. Bibi itu tersenyum dan langsung mengambilkan sebuah gaun hitam yang terbungkus plastik dengan sangat rapi.
    “Makasih ya Bi” kataku sambil tersenyum.
    “E,iya, neng Ica. Kemaren ada yang nyariin tuh” kata si bibi menghentikan langkahku.
    “Oh ya? Siapa?” tanyaku heran. Setahuku, teman-teman sekolahku tidak ada yang tahu alamat rumahku dan mereka memang tidak perlu tahu.
    “Cowok. kayaknya seumuran neng deh. Eh nggak lebih tua sedikit. Lumayan cakep lho neng” kata si bibi membuatku bingung. Kucoba ingat-ingat. Hmm, terlalu banyak yang penting-penting, jadi lupa. Aku berpikir dan terus berpikir...duh..jangan lama-lama..nanti kak Aya marah-marah lagi. Kasihan kan.....bisa cepat tua.
    “Yaudah..dipikirinnya ntar aja neng. Gih pulang sana...ntar neng Aya nungguin trus neng diomelin lagi” kata si Bibi seakan bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum pada si bibi. Memang kisah bawang merah dan bawang putih di rumahku bukan rahasia umum lagi. Aku menuruti kata-kata si bibi dan pergi ke rumah.
    Suatu hal yang menguntungkan karena gaun kak Aya sampai ke tangannya dengan sempurna dan tanpa cacat. Biasanya, lecek sedikit saja dia akan menyanyikan lagu “Ica” yang tak bernada itu sekali lagi. Aku pun menjalankan intruksi kedua, bersih-bersih dan semua itu kukerjakan sampai pukul tujuh. Cepat bukan? Sudah biasa. Di luar, mobil kak Ara tampaknya tidak terlalu kotor sehingga aku bisa menyelesaikan semua intruksi hingga pukul delapan pagi.
“Kak, aku duluan. Assalamualaikum....” kataku sudah lengkap dengan sepatu, tas dan seragam sekolah dan tak lupa, perlengkapan menginap selama 3 hari. Untungnya, pagi ini dua jam pelajaran pertama adalah olahraga. Aku sudah cukup berkeringat oleh intruksi kakak kembarku sehingga tak perlu menyesal ketinggalan jam pelajaran olahraga. Mmm…mungkin 10 menit pertama pelajaran Fisika akan terlewat dan itu sangat tidak menyenangkan. 10 menit terlalu berharga untuk dilewatkan, apalagi pada salah satu mata pelajaran yang .mungkin kusuka tapi tak terlalu kubisa. Bagaimana pun, ketinggalan pelajaran Fisika adalah malapetaka karena sekali ketinggalan aku akan terus ketinggalan. Makanya kuputuskan menggunakan jasa ojek dan sampai sekolah tepat pukul 08.15.
    “Aisyah, sudah beberapa kali ibu bilang……”
    “Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Saya tahu bu” kataku menyela kata-kata Bu Rini tak lupa dengan senyum yang sudah kuset sedemikian rupa agar ia tidak marah secara berlebihan.
    “Terus…??” lanjutnya memojokkanku seraya mencoba mengorek-ngorek alasan kenapa aku terlambat.
    “Kerjaan saya menumpuk Bu. Saya tak perlu menyebutkan satu-satu kan bu? Dari mulai mengerjakan hal yang penting sampai yang tidak penting. Penting gak penting sih tetap harus dikerjain karena kalau nggak bisa berabe. Jadi, saya telat deh” kataku mulai memberi alasan.
“Hukuman saya setelah pelajaran Fisika saja ya bu. Nanti saya ketinggalan pelajaran pak Sugi. Bisa gawat. Kalau hanya remedial sih tidak apa. Tapi kalau sampau angka merah bereret di rapor kan gak enak. Ibu tahu sendiri kan, pak Sugi paling tidak suka kalau ada anaknya yang remedial” lanjutku sempat memotong ketika bu Rini berniat membuka mulut.
 “Belum lagi harus mereview pelejaran-pelajaran kemarin berhubung sudah kelas tiga kan bu. Terus….”
    “Iya..iya..cukup. Masuk sana. Jam istirahat nanti ambil hukuman kamu di meja piket” kata bu Rini seakan pusing mendengar celotehku yang sengaja kubuat panjang lebar. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada beliau. Pak Sugi eh maksudku Fisika...I’m Coming!

    “Assalamualaikum. Misi Pak……” kataku begitu sampai pintu kelas. Sorakan anak-anak sudah tak asing lagi pagi itu.
    “Kamu terlambat 15 menit pelajaran saya. Tak boleh masuk!!” kata pak Sugi  memerintah sebelum kulangkahkan kakiku ke dalam. Lima belas menit?? Bukan sepuluh??? Oh tidaaaak. Perkiraanku salah….
    “Tapi Pak????” kataku memaksa.
    “KE PERPUSTAKAAN! Saya tidak mau menerima murid yang terlambat.” Perintah pak Sugi lagi. Oh..No. sejak kapan guru yang kuharap guru kesayanganku itu jadi sangat kejam (sebelumnya hanya kejam saja).
    “Pak…saya capek-capek ke sekolah kan mau belajar” kataku memelas.
    “Banyak yang bisa kamu dapatkan di perpustakaan. Silahkan” katanya sekali lagi. Aku menghela nafas kecewa. Huh….pengorbananku naik ojek ternyata sia-sia. Kupandang teman-temanku dan ternyata mereka diam. Pak Sugi lagi sensi. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Nora, teman sebangkuku dan beberapa anak lainnya lewat tatapan mata mereka. Aku pun mengerti.
    “Ya sudah pak. Terima kasih” kataku. Aku berbalik dan segera menuju perpusatakaan, atau mungkin guru piket. Masih ada hukuman yang bekum terlaksana dari bu Rini. Tidak berat, hanya menulis Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Kata-kata yang sampai sekarang tak pernah bisa kumengerti. Lebih buruk mana dengan teriakan aneh dari kakak-kakakku kalau aku meninggalkan pekerjaan rumah barang sehari saja? Tidak ada yang lebih buruk, keduanya masih satu spesies.
Aku langsung ke perpustakaan begitu menerima tugas dari Bu Rini.
“Eh..Ica. Terlambat ya??” sapa penjaga perpus melihatku masuk masih mengenakan ransel hijauku yang sudah banyak termodifikasi oleh tempelan pin-pin yang kusuka. Aku meletakkannya dan langsung mengincar koran yang terletak di dekat pintu masuk.
“Iya nih pak. Mana gak boleh masuk lagi” Jawabku sambil mencari-cari Koran kompas hari ini.
“Sabar neng. Belajar di sini juga gak rugi-rugi amat kok” kata pak Salim, nama penjaga perpus itu sambil memeriksa absensi perpus.
    “Yah…semoga saja. Coba kita lihat. Berita apa pagi ini” kataku duduk pada salah satu kursi di perpustakaan itu.
    “Absen dulu neng…”kata pak Salim menyodorkan absensi perpustakaan padaku. Aku mengambilnya. Aisyah Ramadhani….xii ipa 3….diharapkan dapat belajar di perpus. Begitulah kira-kira yang kuiisi.
    “Waah, akhirnya Madrid menang juga..”gumamku kecil setelah selesai urusan dengan absen.
    “Neng ke sini cuma buat baca Koran?” Tanya pak Salim heran. Aku dengan cueknya mengangguk.
    “Bukannya benda pertama yang saya cari di perpustakaan itu koran?” tanyaku meyakinkan pak Salim bahwa aku benar-benar Ica, si bocah koran.
    “Memang gak ada tugas karena telat?” Tanya pak Salim.
    “Innalillahi..” aku tersadar, masih ada yang lebih penting dibanding melihat berita pagi hari ini. Oh…aku berharap ini yang terakhir aku menulis kata-kata konyol yang tak kumengerti itu.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Aku harus mengulangi serangkaian kalimat itu sebanyak menit aku terlambat, dengan kata lain, aku harus menulisnya sebanyak Sembilan puluh lima kali, dan percayalah, ini sangat membosankan.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Hoaaaaaaaaammmm…… melelahkan, membosankan, ngantuuk.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Tanganku mulai lemas. Aku baru ingat kalau tadi malam aku baru tidur jam dua.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Mataku mengatup dan membuka tanpa perintah. Aku juga baru ingat, kalau aku belum memutuskan akan tidur di mana malam ini.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Ahh….tiba-tiba saja aku tak ingat apa-apa, semuanya gelap.

    Aku memimpikannya lagi, hal yang sangat ingin aku lupakan. Wajah-wajah kecil dengan sayap malaikat, dan seorang pangeran di antara mereka. Dengan lembutnya, ia memanggil namaku. ”Ica”…aku berlari ke arah mereka. Panggilan lembut itu terulang kembali…
    “Ica…”
    “ICAAAAAAAAAAAAAAAAAA” suara yang lembut itu mendadak pecah, aku pun tersadar dari tidurku.
    “Nora….” Kataku setelah tahu siapa suara yang ber’Ica’ pecah itu.
    “Gila lo…..tidur di perpus. Di UKS tuh enak” kata Nora duduk di hadapanku, aku pun langsung sadar bahwa sekarang sudah masuk jam istirahat pertama.
    “Sholat Dhuha yuk….” Kata Nora.
    “Gw lagi gak sholat Ra. Gw di sini aja deh, ada tugas gara-gara terlambat” kataku memperlihatkan satu kalimat membosankan yang kutulis ulang baru sebanyak tiga puluh kalimat itu.
    “Yaudah…gw duluan ya…”kata Nora. Aku tersenyum mempersilahkan..
    “Eh Ra….” Kataku menghentikan langkahnya. Aku berpikir untuk menginap di rumah Nora lagi malam ini, tapi,
    “Gak jadi deh….” kataku membatalkan. Aku terlalu sering merepotkan sahabatku itu, bulan ini saja, sudah lima kali aku menginap di rumahnya gara-gara kakakku.
    “Dasar aneh. Yaudahlah. Gw sholat dulu deh. Mmmm, oh iya, hari ini pak Anton, bu Cece dan pak Kurdi gak masuk. Jadi habis istirahat ini kita gak ada pelajaran lagi” kata Nora.
    “Apa?? Oh….No!! kita kan udah kelas 3 Ra. Masa masih ada jam kosong sih” kataku seakan-akan peduli dengan sebuah idealisme bahwa mendekati ujian akhir harus serius belajar, padahal ada sedikit tawa yang hampir pecah.
    “Iya..sebagai gantinya, habis istirahat akan ada Try Out dadakan” kata Nora enteng.
    “APA???!!” suara ‘Apa’ ku lebih tegas dari sebelumnya. Memikirkan bahwa masih ada Sembilan puluh kata Terlambat adalah malapetaka bagi kedisiplinan yang belum kukerjakan saja membuatku sesak napas.
    “Makanya kalo lo ke kantin, gak bakalan nemu anak-anak. Lagi pada belajar semua, yah…kecuali yang udah gak perlu belajar kayak Galih, Ratna…’
    “Elo…” kataku seraya melanjutkan kata-kata sahabatku yang sudah sangat expert di bidang Matematika dan Bahasa itu. Dia hanya tertawa kecil. Ternyata banyak sekali yang harus dikerjakan  dan aku sama sekali belum memutuskan akan menginap di mana malam ini.

    “AAAAh….soal apa ini? gak yakin gw kita bakal dapat soal segila ini. Apa yang akan terjadi pada anak pedalaman Papua kalau standar Indonesia soalnya setinggi ini? Oh tidak..Mama..Papa..aku mohon, maafkan jika nanti aku mengecewakan kalian” suara Leo memecah keheningan kelas sesaat setelah kertas dibacakan.
    “Menjelang ujian, semua menggila…” kata Nora menggumam. Aku terpaku pada 30 soal Matematika di hadapanku yang tiba-tiba mengingatkanku kepada masa depan yang telah aku pikirkan jauh sebelum aku mengenal dunia putih abu-abu. Arsitek. Sebuah profesi yang membutuhkan kemampuan daya nalar Matematis yang tinggi. Kalau soal seperti ini saja tidak bisa kuselesaikan, bagaimana bisa kugapai kampus di kota kuliner yang terkenal dengan dunia desain grafis dan keteknikannya itu  Ah, ternyata sembilan puluh kalimat yang harus kutulis dari Bu Rini memberi efek samping yang buruk. Tiba-tiba saja aku merasa berhadapan dengan lembah yang dalam bernama Ujian.

    “Hai, Putri Bawang” seseorang berbicara padaku di perjalananku lima langkah keluar dari pintu gerbang sekolah.
    “Hans? Ngapain lo di sini?” tanyaku pada sesosok pemuda tanpa seragam yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Tiba-tiba saja aku teringat mimpiku tadi tentang malaikat dan pangeran. Hans adalah orang yang pernah bertemu denganku di suatu perkumpulan anak jalanan. Sebuah tempat yang telah mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan. Ah, baiklah, aku mengaku. Dialah lebih tepatnya yang menemukanku, setahun yang lalu, saat kedua kakakku memulai hobi mengusirku karena pesta.
    “Elo sih. Ngilang gitu aja. Anak-anak udah suka banget tuh sama lo. Gw sampe harus nyelidikin lo sampe ke rumah lo segala buat tau keberadaan lo. Gw sampe nanya segala sama tante laundry” ucapnya.
    “Oh..jadi itu asal-usul julukan baru lo buat gw?” tanyaku sambil berjalan menghindarinya. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Mana mungkin aku bisa melupakan wajah-wajah kecil itu. Yang memanggilku “kakak” dengan polosnya Memang sih, terkadang mereka bau, dekil, belum mandi. Tapi setahun yang lalu, bermain bersama mereka adalah hal yang menyenangkan. Sampai ketika itu aku menyadari bahwa aku tak bisa terus bersama mereka.
    “Ca.,..ye, tungguin. Gw belum beres ngomong” katanya berhasil menghadangku kembali.
    “Hans, gw kan udah bilang. Gw gak bisa balik ke tempat itu lagi” kataku menghindar.
    “Please  Ca….” katanya menghadang lagi.
    “Hans, lo pernah kan ngerasain jadi kelas 3 SMA. Gw harus serius belajar. Gw gak bisa main-main terus” kataku menegaskan.
    “Berarti habis ujian bisa kan Ca?” tanya Hans lagi. Aku kembali menggeleng.
    “Lo pikir gw bisa tahan, main panas-panasan, jadi dekil, bau…” kataku yang pada akhirnya harus mengeluarkan kata-kata pedas.
    “Ck ck…Bohong. Lo sebenarnya cuma lari kan? Lo gak bisa terus menerus ketemu dengan mereka karena lo seperti melihat diri lo sendiri di sana” kata Hans yang sukses membuat langkahku terhenti.
    “Lo bukan seorang anak dari pengusaha garmen terkemuka di Jakarta. Lo itu cuma Ica. Status sosial lo emang anak, tapi status lo yang sebenarnya adalah yatim piatu. Lo sesungguhnya sendirian di dunia ini. Sama seperti mereka. Bedanya hanya, lo punya rumah yang layak, dan mereka tidak” kata Hans masih belum menyerah. Kalau saja aku boleh menyentuhnya maka akan kutampar saat ini juga. Meskipun kesal, tapi seluruh kata-katanya adalah benar.
    “Kenapa? Kesal? Kalau semua itu gak bener, kenapa lo harus ngalah sama kedua kakak angkat lo? Kenapa lo harus  berkali-kali keluar dari rumah? Apa bedanya lo sama anak jalanan? Paling nggak mereka gak nyusahin rumah orang lain untuk lo inepin kan?” katanya dan sekali lagi benar karena rumah Nora sekali lagi terbayang olehku. Benar-benar sialan anak ini.
    “Dan lo pergi dari kita semua hanya karena mereka membuat lo menyadari status lo sebenarnya…”
    “CUKUP!!” kataku bernada tinggi. Aku merasa kelopak mataku basah. Aku benar-benar kesal. Tapi tiba-tiba saja pemuda itu berlutut di depanku.
    “Hans?” tanyaku.
    “Riri sudah lama demam tinggi. Gw udah mau bawa dia ke dokter, tapi dia gak mau. Dia bilang dia kangen sama lo. Jody mulai kehilangan semangat belajarnya, dia kembali menghabiskan hari-harinya dengan mengamen di lampu merah, non-stop. Lo tau Ca? Gw cuma bisa membuat mereka tertawa dan bersemangat menjalani hari. Tapi cuma elo, yang bisa mengajarkan mereka caranya bermimpi” Kata Hans melembutkan suaranya dan berdiri kembali. Hans sebenarnya bukan anak jalanan seperti adik-adik yang diasuhnya. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tingkat 2 yang sangat hobi berkeliaran di jalan. Hidup bersosialisasi sudah menjadi bagian dari kesehariannya. 
    “Hari ini kita ngumpul di tempat biasa. Gw berharap bisa bujuk Riri ke dokter hari ini. Kalo lo gak ada kegiatan, gw mohon lo datang” katanya lalu pergi meninggalkanku dengan tas besarku. Aku masih terpaku di ujung jalan melihat sosok pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu. Perasaan kesalku berubah menjadi sesal dan kurasa siapapun bisa menebaknya, bahwa kakiku berjalan sesuai dengan apa yang kata hatiku perintahkan.

    “Kak Hans, sudah ketemu kak Ica?” sosok mungil itu bertanya dengan nada lemah di kursi yang terbuat dari jok mobil bekas yang sudah tidak terpakai dan berselimutkan kain dengan banyak tambalan.
    “Riri, daripada itu, kita ke dokter aja yuk. Biar diobatin sama dokter” kata Hans membujuk. Anak itu menggeleng.
    “Kak Ica pernah bilang, kalau Riri ini anak yang kuat. Makanya, kalau sudah besar, Riri ingin sekali jadi atlet wanita, atau jadi pendekar silat biar gak digangguin sama orang jahat. Masa jagoan kayak gitu ke dokter kak? Gak cocok” kata Riri mencoba menjelaskan.
    “Gadis kecil bodoh. Atlet hebat, kalau sakit gigi juga pergi ke dokter gigi kan….” Kataku masuk tiba-tiba menghampiri tubuh kecil yang terbaring itu.
    “Kak Ica…..” gadis kecil itu secara spontan memelukku saat aku mendekat, begitu juga dengan yang lainnya. Hans hanya tersenyum penuh makna melihatku berada di dalam markas itu. Aku benar-benar bodoh karena berusaha menyingkirkan mereka dari kehidupanku. Padahal aku pernah merasakannya, masa-masa di mana aku tak tahu siapa diriku. Sampai keluarga Yulianto menemukanku yang begitu mirip dengan anak perempuan mereka yang baru saja meninggal ketika itu. Mereka yang menyadarkanku dan mengajariku bermimpi, memiliki cita-cita, dan mengajariku arti kehidupanku yang sesungguhnya. Membuatku melupakan dari mana diriku berasal. Tidak hanya keluarga, tapi aku pun juga merasakan rasanya memiliki seorang sahabat. Nora bagiku adalah harta yang tiada duanya. Lalu kemudian aku bertemu mereka semua. Semula aku senang, tapi lama kelamaan aku mulai mengingat  kembali apa yang sudah lama ingin aku lupakan, fakta yang menyebutkan bahwa sebenarnya aku ini bukan siapa-siapa.
    Hari ini pun berlalu. Dan aku masih belum tahu akan menginap di mana malam ini.
    “Kak Ica, gak pulang? Nanti dicariin sama keluarga kakak.” kata Jody, anak berambut hitam dan berkulit gelap namun sangat manis dan bercita-cita menjadi pilot. Aku tersenyum kecil.
    “Kalian kan juga keluargaku” kataku.
    “Memangnya kakak gak punya ayah dan ibu juga?”Tanya Doni, anak lelaki kurus dan bermuka bulat yang bercita-cita menjadi tentara. Pertanyaan itu, pagi tadi mungkin akan kujawab dengan gelengan kepala. Tapi hari ini…
    “Ayo pulang. Gw antar” kata Hans tiba-tiba saja sudah memegang tasku.
    “Tapi…” kataku tak tahu apa.
    “Kalian istirahat ya, besok kita belajar lagi. Salam buat tante Romi. Assalamualaikum. Yuk Ca” kata Hans pergi duluan.
    “Hhh…mau gimana lagi. Aku pergi dulu ya….daaaah. Assalamualaikum..” kataku pada malaikat-malaikat kecil itu. Aku pun lekas mengejar Hans.
    “Hei…..lo gila kalo mikir gw mau nginep di rumah lo” kataku penuh dengan kecurigaan. Hans tersenyum kecil.
    “Emang lo punya pilihan lain? Yaudah, mau nginep di hotel aja?” Katanya sambil mengerdipkan mata.
    “Gila!!! Sini tas gw!!”  kataku marah.
    “Eh…Gw becanda tau. Gini-gini gw juga aktif di acara-acara masjid kampus. hehe” katanya menyeringai.
    “Terus, apa maksud lo bawa-bawa tas gw seakan tau gw mau ke mana?” tanyaku dan Hans kembali tertawa.
    “Ya ke rumah lo lah. Gimana juga rumah keluarga Yulianto kan rumah lo juga” katanya santai dan membuat marah ku berubah menjadi bingung.
    “Tapi…..”  kataku mencoba menyangkal.
    “Dulu, waktu gw seumuran sama lo, gw ketemu sama teman-teman SD gw di suatu acara reunian” katanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam mengikuti langkah kakinya.
    “Di saat gw menikmati masa-masa SMA gw dengan prestasi yang gemilang, gw ketemu  mereka. Beberapa ada yang putus sekolah, yang cewek ada yang Married by Accident trus ditinggalin suaminya gitu aja. Miras yang merupakan hal tabu buat sekolah gw menjadi hal yang biasa buat mereka. Bahkan ada beberapa yang gak datang ke acara tersebut yang gw baru tahu bahwa mereka putus sekolah, dan sempet nge-drugs” katanya mulai bercerita.
    “Lo tau apa yang paling menyedihkan? Adalah ketika gw tidak melihat adanya masa depan di depan teman-teman gw yang pernah main bareng sama gw. Gw merasa bersalah. Dulu keluarga gw miskin, sama kayak mereka. Bagi orang kelas menengah ke bawah seperti kami, hanya bermimpi lah satu-satunya cara untuk memiliki masa depan. Dan kesalahan terbesar gw adalah, gw gak pernah mengajak mereka bermimpi bersama. Gw sibuk dengan impian gw sendiri” katanya.
    “Makanya lo sekarang ini jadi aktivis sosial spesialis anak-anak jalanan?” tanyaku kemudian. Hans kembali tersenyum.
    “Ya, makanya juga, gw bahagia waktu lo datang, dan lo mengajarkan mereka tentang cita-cita. Seketika mereka langsung bersemangat” lanjutnya.
    “Tapi, gw takut yang gw berikan ke mereka itu cuma impian kosong” kataku.
    “Menurut lo, apa yang terjadi saat lo nembak bulan?” Tanya Hans lagi. Aku melihat langit yang saat itu memang sudah gelap, dan aku menggeleng.
    “Kalau pun meleset, paling nggak, lo akan mendapatkan bintang. Itulah yang akan terjadi pada anak-anak itu” kata Hans. Aku tersenyum.
Tahun ini mungkin menjadi masa-masa terakhirku sebagai seorang remaja SMA. Tetapi, aku bersyukur karena di saat-saat terakhir, banyak hal berharga yang kudapatkan.
    “Sampai..” kata Hans begitu kami sampai di depan rumahku.
    “Thanks Hans….gw masuk ya” kataku. Hans pun tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Meski berbeda dua tahun, tapi aku tak pernah merasa Hans adalah seorang mahasiswa. Ia sangat pandai menempatkan dirinya untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Tapi hari ini, aku merasa bahwa dia jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Ah..aku pun harus tumbuh dewasa dan segera melepaskan seragam putih abu-abu ini bukan?
    Tok Tok Tok. Seseorang membuka pintu. Seorang pria yang tengah memegang sekaleng birdy coffee tercengang melihat kedatangan gadis dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel besar.
    “Hai, perkenalkan. Saya Aisyah, adik dari kak Aya dan Kak Ara. Boleh masuk?” kataku polos dan seketika itu juga aku mendengar nyanyian merdu kedua kakakku lagi.
    “ICAAAAAAAAAAAAAAA!” Putri Bawang telah kembali ke rumahnya.

Just Dreaming


Bertemu kalian dalam sebuah dunia yang mengajarkanku arti keikhlasan
Berjuang bersama kalian di sebuah masa yang memperlihatkanku betapa indahnya air mata
Berlari tapi tetap berpegang erat, berpisah tapi selalu teringat….

Kini tangan ini ingin menggapai masa-masa itu lagi…
Aih, tidak sampai…tak ada pula satu pun uluran tangan
Rindu ini benar2 ingin terbagi…..hingga sabar dalam penantian pun tak apa
Ah…..ternyata, hanya satu tanganku yang bertepuk
Sudah berangan akan berkumpul lagi
Bercerita tentang kisah
Bertukar kata tentang petualangan
Tapi….rasanya tak akan pernah ada ya..

Mungkin selama ini aku hanya bermimpi
Mimpi yang membuatku enggan untuk membuka mata
Dan ketika nyataku tiba
Kehilangan itu amat terasa
Hingga seluruh kapiler merasakan sakitnya

Ya…..tidak pernah  ada
Aku dan orang-orang yang di dalam mimpi tersenyum bersamaku
Mereka ada di dunia berbeda

Padahal hanya satu yang kupinta
Meski hanya sekali dalam hidupku
Sebuah persaudaraan yang benar2 indah……..sangat indah hingga semakin besar rinduku pada surga.

Cerpen#2 : Buku Merah jambu untuk Sebuah kisah


Gadis manis yang tinggi itu kini tengah berjalan di antara kawan-kawan sepermainannya. Ya, baru satu semester ini mereka dipertemukan di bangku sekolah bernama SMA. SMA kelas satu, menurut kabar adalah masa-masa ketika kita baru bertemu dengan sahabat seperjuangan. Dan konon katanya, karena terlalu sering terlihat bersama, Sakinah dan ketiga kawannya lebih akrab dengan sebutan  Four Fairy.  Bagus bukan? Ah..terlalu bagus untuk keempat remaja yang terlalu banyak berbicara itu.
            “Eh…kalian semua tahu gak….empat fenomena cewek masa kini….” Kata salah satu teman yang berjilbab biru dan kini sedang memegang majalah Annida edisi terbaru. Kata-kata…apa kalian semua tahu…sudah merupakan daya tarik tersendiri bagi seorang wanita untuk langsung menjawabnya dengan mengajukan satu pertanyaan lagi….Apa?Apa? (tentunya dengan antusias tingkat tinggi).
            “Yang pertama…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka dan lebih banyak makan….iya gak?” kata gadis tersebut melirik temannya yang berjilbab ungu sedang asik melahap satu roti sobek ukuran besar. Spontan kedua temannya tertawa karena temannya yang satu ini makan seakan-akan dia lupa bahwa mereka berada di tempat orang banyak. Taman Sukahati, itulah nama Best camp  mereka di hari minggu.
            “Yang kedua…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka jalan-jalan daripada diam di rumah. Jalam-jalannya pun macam-macam, ada yang ke mall, ke toko buku, atau pun hanya sekedar jalan-jalan keliling rumah. Yang penting jalan-jalan. Iya gak…?” kali ini gadis tersebut melirik pada kawan yang duduk di sebelahnya persis dan sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Ah…sebenarnya sedang sibuk menukar tali yang tadinya merah jadi biru. Ia hanya tersenyum kecil memperlihatkan adanya kebenaran.
            “Yang ketiga…fenomena bahwa cewek sekarang jauh lebih suka main bola, dari mulai bola basket, bola sepak, bola takraw sampe bola bekel. Intinya…lebih sporty lah…tul gak?” tanyanya kini beralih pada Sakinah. Ia hanya tersenyum…
            “dan fenomena keempat ialah….” Lanjut gadis itu sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
            “Oh NO…….” seru spontan dari si pemakan roti sobek.
            “Jangan lagi-lagi….” Disambung oleh si tukang jalan-jalan.
            “lo mau bilang kalo fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih suka curhat di buku diary warna pink yang hyper norak itu daripada nulis agenda harian di buku yang formal?? Dan please Na….lo jangan nyuruh gw untuk baca ataupun nulis sesuatu di buku itu. Ieeek…” komentar Sakinah, si pembenci warna pink, menunjukkan ke-lebay-annya. Nabila, begitulah nama gadis yang sedari tadi disibukkan oleh empat fenomena cewek masa kini, tersenyum penuh arti.
            “Sebenarnya gw tadi mau bilang bahwa fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih kinclong daripada cewek dulu. Ya iyalah…kita kan masih pada muda, kalau mereka sudah pada tua. Ha ha….” Kata Nabila mencoba memberi humor yang klasik tapi ketiga temannya tidak tertawa. Nabila yang tadinya sangat bersemangat memandang ketiga sahabatnya dengan penuh harap.
            “Ayolah guys….gw kan sedang berusaha membuka hati-hati kalian. Seorang cewek itu selalu identik dengan curahan hati. Coba aja liat situsnya My Qur’an, banyak cewek kan yang mampir ke thread ‘Curhatmu’..?” kata Nabila. Tapi ketiga temannya yang konon katanya sangat anti warna pink dan amat sangat tertutup terhadap orang itu hanya saling pandang dan tak banyak memberi komentar.
            Jikalau ditanya siapa di antara mereka yang paling tahu isi hati sesamanya…pasti Nabila jawabannya. Nabila lah yang paling sering menemani Mala makan di kantin sementara yang lainnya sibuk dengan program diet mereka. Nabila juga yang paling sering menemani Tika jalan-jalan di saat yang lain sedang malas untuk keluar. Nabila juga yang paling sering menemani Sakinah berpanas-panasan di lapangan meskipun ia tidak ikutan sibuk dengan bola-bola yang menggelinding di Sport Center alias GOR. Tapi sayangnya….hobi Nabila adalah hobi yang paling tidak diminati oleh ketiga temannya. Sudah sering ia memaksakan kepada teman-temannya untuk menyukai hobinya itu, mendengarkan dan menceritakan curahan hati, tapi semakin ke depan semakin menyulitkan.
            Sebenarnya ketiga temannya bukannya tidak mau meluangkan waktu untuk saling membuka hati mereka, mereka hanya belum bisa merasa nyaman untuk membuka perasaan mereka. Yah…wajar saja, ketiganya memiliki karakteristik yang sama akan hal ini. Mala misalnya, perlu waktu yang amat sangat lama untuk membuatnya memberitahu bahwa ia memiliki 7 orang saudara dan dua di antaranya kembar. Ia berpikir memiliki banyak saudara di zaman sekarang ini merepotkan, padahal menurut ketiga temannya yang paling banyak hanya punya dua saudara itu, memiliki banyak saudara bisa menjadi warna yang menyenangkan dala kehidupan ini.
            “Yaudah deh….beneran nih gak mau ngisi? Yaudah gak apa…” kata Nabila sedikit putus asa dan sikap inilah yang selalu membuatnya sukses menghadapi ketiga temannya, sikap yang memunculkan rasa iba.
            “Iya deh….tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya…cuma kita berempat yang tahu…” kata Tika mulai bercerita dan Nabila seketika sumringah. Tak jadi dimasukkannya buku itu dan ia mulai menulis secara detail apa-apa yang diceritakan satu per satu tanpa ada yang tertinggal.
           
Beberapa bulan kemudian, di tempat yang sama, Mala menghampiri dengan tergesa-gesa kedua temannya yang sudah hadir lebih dulu darinya.
            “Lo telat Mal…ah, lebih tepatnya…kita semua terlambat” kata Sakinah memegang sebuah buku pink dan satu surat dengan warna yang serupa.
            “Ja…jadi benar?” Tanya Mala meyakinkan.
            “Ternyata bukan cuma gw yang berpikir begitu. Gw kira juga teman kita yang satu itu cuma bercanda” kata Nabila menatap buku pink yang sepertinya hanya ada satu di dunia itu
            Mereka bertiga kini disibukkan dengan keheningan. Seakan baru saja melakukan satu kesalahan yang besar, mereka terbisu oleh kekhilafan yang tak pernah mereka sadari selama ini.
            “Dia bahkan tak pernah melewatkan satu kata pun dari apa yang kita ucapkan” ucap Sakinah memecah keheningan. Ia mulai membuka buku pink itu satu per satu tanpa rasa jijik seperti biasanya dan tanpa ia sadari satu per satu air matanya menetes.
            “Ingat tidak waktu pertama kali kita bertemu dengannya di pengajian? Kita bertiga, makhluk yang paling tidak cocok sedunia seakan-akan disatukan oleh tangan malaikat dan diubah menjadi tiga makhluk yang paling sukar dipisahkan” kata Tika juga mulai membuka wacana.
            “Hei…apa kalian mau membuang-buang waktu untuk menangisi kebodohan? Ayolah….bukan itu yang sahabat kita inginkan. Chaky….bacakan surat itu” ujar Mala dengan sikap kolerisnya meskipun masih dengan airmata yang membanjiri pipinya. Tanpa ada bantahan, Sakinah langsung membuka amplop pink yang sedari tadi terpegang oleh tangannya.
            “Untuk tiga bidadari yang menanti senja mengantarkan mimpinya di siang hari…..” kata Sakinah mulai membaca dan ia memastikan kedua temannya sudah menyimak dengan seksama.
            “Sungguh kawan….tak ada yang bodoh dalam sebuah persahabatan. Aku tahu, kalian pasti menyalahkan diri kalian atas ketidaktahuan kalian dan aku pun menyalahkan diriku karena keenggananku untuk memberitahu kalian. Padahal, bukan itu yang seharusnya terjadi dalam persahabatan. Kita butuh kepercayaan bukan?
            Sahabatku…aku tak pernah mengerti sebelumnya cara berteman yang baik. Masa-masa kecilku, masa-masa SMP ku sepenuhnya dihabiskan lewat Home Schooling. Teman yang kupunya adalah teman-teman yang menganggap kejeniusan adalah segala-galanya. Teman yang kupunya adalah orang-orang yang menganggap bahwa kesuksesan dilihat dari seberapa besar angka yang mereka torehkan di nilai rapor. Aku sungguh bosan dengan semua itu. Temanku yang sesungguhnya hanyalah buku merah jambu ini yang selalu kubawa ke mana pun ku pergi yang selalu ku bawa ketika aku mendengarkan kalian berbicara. Mungkin bagi kalian ini konyol dan sangat kekanak-kanakan, tapi sebelum bertemu kalian, buku merah jambu ini adalah satu-satunya harta berharga yang membuatku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
            Aku mencoba memasuki dunia SMA dan bertemu kalian. Meskipun hanya diijinkan satu semester saja, aku tak peduli. Aku tahu Ayah dan Ibu cemas karena penyakit yang kuderita dan yang tak pernah kuceritakan pada kalian itu bukan sekedar penyakit biasa. Aku sadar, betapa bahaya hidupku jika jauh dari pengobatan dokter. Tapi paling tidak….aku ingin merasakan indahnya memiliki sahabat. Aku ingin merasakan sekali-kali, curahan hati yang terungkap. Memiliki teman-teman yang benar-benar bisa mendengarkan. Tapi sebelum itu, tentu, aku harus belajar untu merasakan indahnya menjadi buku diary.
            Maaf kalau aku harus memaksa kalian untuk bercerita. Tapi aku suka mendengar cerita kalian. Membuatku benar-benar sadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang aku dan penyakitku, tapi juga tentang Mala dan saudara-saudara kecilnya yang nakal, tentang Tika dan kecemasannya akan berat badan, tentang Chaky dan cita-citanya menjadi cewek atletis nomor satu se Indonesia. Aku sampai lupa bahwa aku juga ingin bercerita. Aku sampai lupa bahwa aku juga punya kisah tersendiri tentang hidupku yang belum kalian tahu. Maaf ya…
            Hh…terlalu banyak menulis tanganku sampai pegal. He he.. Ketika kalian baca surat ini, mungkin aku sudah tak di Indonesia lagi. Aku hanya bisa mengirimkan buku merah jambu ini untuk kalian”  Sakinah menghentikan kata-katanya dan membuka halaman pertama buku merah jambunya. Di sana terpasang foto mereka berempat ketika bermain di danau UI. Air mata ketiganya semakin deras, sakinah pun mulai melanjutkan pembacaannya.
            “Kukirimkan buku ini untuk mewakiliku bercerita pada kalian tentang kisah hidupku….dari sahabat kalian yang sangat merindukan kebersamaan yang dulu…Nabila Latifunnisa” kata Sakinah menatap kedua temannya yang menangis.
            “Ps : oh iya, jangan cemburu sama buku ini ya. Dia hanya hadir lebih dulu dalam hidupku daripada kalian dan berperan sebagai teman curhatku. Tapi aku percaya, kalau saat itu kalian yang hadir lebih dulu, sudah dipastikan buku ini yang akan cemburu pada kalian. He he” kata Sakinah tersenyum tipis. Lalu mereka pun mulai membuka buku yang dimaksud. Buku yang pada awalnya sangat tidak ingin mereka sentuh. 
Ketiga sahabat itu kini menyadari bahwa ada sebuah pekerjaan besar untuk dituntaskan.

            “Kamu lihat apa Bil?” suara lembut seorang wanita merdu terdengar oleh sosok di kursi roda yang tengah menatap langit di balik jendela.
            “Aku, melihat kebebasan suster” Nabila menjawab pertanyaan itu. Suaranya lemah, kulitnya pucat, tubuhnya mengurus, rambut indah yang dulu dibanggakan sudah tidak ada karena pengaruh kuat dari kemotherapi. Akan tetapi, senyum di wajahnya tidak bisa menutupi bahwa ia tidak sedang larut dalam kesedihan.
            “Langit itu amat luas, rasanya menyenangkan membayangkan aku bisa terbang ke sana, melintasi tujuh benua dan tujuh samudera” lanjutnya masih menatap langit yang sama.
            “Kamu bercita-cita keliling dunia Bil?” Tanya suster itu kembali. Nabila tertawa kecil mendengarnya.
            “Suster ada-ada saja. Saya ini tahu diri sus. Jangankan memikirkan tentang cita-cita, berpikir bahwa saya besok masih hidup saja saya masih belum berani” senyum yang tadinya merekah perlahan menipis dan ia mengalihkan pandangannya ke pantulan dirinya di kaca jendela. Ia baru saja berbohong. Sebenarnya, cita-cita dan impiannya sangatlah berlimpah. Cita-cita yang dibangun selama satu semester bersama tiga sahabatnya.
            “Aduh anak ini, sudah mulai belajar bohong ya” suara yang berbeda tiba-tiba muncul di ruangan ini.
            Penyakit yang benar-benar hebat. Bahkan sekarang aku mulai menghayal mendengar suara Mala. Nabila memejamkan matanya mencoba menenangkan diri. Ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan pernah mengalah pada rasa sakit ini.
            “Nabila, buku merah jambu bilang, bahwa ia masih belum mau berpisah sama kamu” suara yang lain tiba-tiba muncul. Nabila mulai merasa sangat aneh karena sekarang suara Tika bergumam dengan sangat jelas. Ia pun merasa khayalannya mulai menjadi-jadi. Separah inikah penyakitnya?
            “Kata buku merah jambu, harus Nabila sendiri yang bercerita tentang kisah hidupnya karena ia tidak mau membagi kisah manis kalian berdua” suara Sakinah menyadarkan gadis di atas kursi roda itu bahwa ia sedang tidak mengkhayal. Suster dengan penuh kerendahan hati membalikkan kursinya sehingga ia bisa melihat tiga peri berdiri di hadapannya.
            “Kalian…….” Isak tangis pun menyelimuti ruangan itu dalam sekejap.
            “Fenomena cewek masa kini nomor 5, mereka bisa sangat cengeng dalam situasi seperti ini” Nabila bergumam pelan dalam pelukan teman-teman yang telah menghabiskan waktu tiga bulan penuh untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli tiket pesawat dan akomodasi ke Singapura.

cerpen#1 : Tunjuk satu Bintang


dibuat di masa-masa labil.. haha
 
Malam malam berjalan seperti biasa. Sudah tiga tahun lamanya sejak kulangkahkan kakiku di kota ini, kota yang tidak jauh dari tempat kelahiranku yang metropolis, kota yang selalu penuh dengan limpahan air hujan. Meski panas di siang hari tak berbeda jauh dengan teriknya kota Jakarta, tapi ketika malam tiba suasana pedalaman desa mulai terasa. Seperti malam ini dan malam-malam yang biasa kulewati, aku merasa begitu dingin dan jaket ungu kesayanganku seperti biasa menemani malam-malamku yang sunyi. Tapi ada yang tidak biasa malam ini. Hujan yang turun seharian hampir tanpa henti hari ini, dan kondisi desa yang tengah mengalami mati listrik membuatku dengan leluasa memandang sesuatu yang begitu mengesankan. Malam ini berjalan seperti biasanya, begitu sunyi tapi aku dapat memandang lukisan langit yang berkilauan begitu indah. Sebuah panorama malam yang dapat membuat hati gundah menjadi indah, hari yang sepi menjadi berarti.
            “Bintangnya keren banget ya” suara Rei menyadarkanku dari lamunan panjang.
            “Ternyata mati lampu ada gunanya juga, langit jadi terlihat jelas” lanjut Rei. Dia adalah teman sekamarku sejak dua tahun yang lalu.
            “Ta, kamu baik-baik saja kan?” Tanya Rei yang mulai bisa membaca kerisauan hatiku.
            “Aku baik-baik saja Rei. Aku heran, kenapa semua orang berpikir aku akan sangat terganggu karena gosip tentang Kak Adam dan Kak Anita?” kataku sambil tersenyum tenang.
            “Ya, soalnya Kak Adam kan satu-satunya cowok yang deket sama kamu melebihi teman, Sebelum digosipin sama kak Anita digosipinnya sama kamu kan?” kata Rei.
            “Tapi kamu sendiri tahu kan kalau gosip itu tidak benar adanya. Rei, aku dan kak Adam itu hanya partner se-tim di organisasi, jelas saja kelihatan dekat. Jujur aku memang terganggu oleh gosip tentang kak Anita, tapi itu karena gosip tersebut sepertinya mengganggu kestabilan kak Adam yang ujung-ujungnya berpengaruh ke kinerja dia Rei, cuma sebatas itu” kataku mencoba meyakinkan.
            “Berarti kamu gak punya perasaan apa pun pada kak Adam?” tanya Rei. Aku menggeleng.
            “Kak Adam yang pinter, super cakep, super baik, super keren, dan super bijaksana itu, kamu gak tertarik sedikit pun sama dia?” tanya Rei lebih menegaskan. Aku tertawa lalu menggeleng yakin.
            “Kok kelihatannya kamu yang suka sih? Haha. Memang kenapa? Aneh ya?” tanyaku heran.
            “Bukannya gitu Ta. Gini ya, tiga tahun aku kenal kamu tapi kamu gak pernah cerita apa pun tentang orang yang kamu suka. Selama ini aku pikir itu kak Adam orangnya soalnya dia yang paling dekat denganmu. Bukan ya? Lantas siapa?” tanya Rei mulai penasaran. Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja memunculkan sebuah sosok yang benar-benar ingin aku lupakan. Aku memandang langit cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Rei.
            “Aku selalu berharap orang yang kusukai adalah seorang bintang” kataku pada Rei. Temanku itu jelas kebingungan. Apa hubungan pertanyaannya dengan bintang di langit?
            “Bukannya gak enak kalau begitu? Kan jadi susah diraihnya” kata Rei mencoba mengerti.
            “Memang. Tapi jika ia adalah bintang, aku akan dengan mudah menemukannya, aku bisa dengan mudah melihat dan mengetahui keberadaannya, aku bisa dengan mudah menyimpan foto dan hal-hal penting tentang dirinya. Dan yang paling penting, aku  bisa dengan mudah, bebas, dan leluasa untuk menyukainya” kataku menjawab pertanyaan Rei.
            “Sudah hampir lima tahun dan aku tak pernah melihat orang yang kau tanyakan itu Rei. Aku tak tahu keberadaannya, aku tak bisa menemukannya seperti aku menemukan bintang di malam hari. Aku, tak bisa dengan mudah, bebas, dan leluasa menyukainya karena aku tak punya alasan kuat untuk menyukainya. Dia begitu jauh sehingga aku pun juga tak bisa meraihnya. Makanya tadi kukatakan, akan lebih baik jika aku menyukai bintang, karena meskipun tak dapat diraih, aku bisa melihatnya dengan leluasa” kataku.
            “Wah…rumit sekali perasaanmu Ta. Ck ck. Ya, di dunia ini ada begitu banyak bintang Ta. Kupikir setiap malam banyak bintang baru yang bermunculan, ada juga bintang yang tidak kelihatan dan bersembunyi di balik awan. Tapi bagi penonton biasa seperti kita, bintang itu terlihat sama bukan? Anggap saja kau sedang menyukai seorang bintang yang tidak terlihat dan sembunyi di balik awan, tapi kau bisa menemukannya di dalam diri bintang lain yang terlihat. Atau daripada repot-repot mengharapkan kehadiran bintang di balik awan itu, ada baiknya kamu melihat bintang-bintang yang ada di sekelilingmu. Pasti ada satu bintang yang sangat terang sekali” kata Rei. Pembicaraan kami terhenti sampai di situ karena lampu tiba-tiba menyala dan kami harus meneruskan pekerjaan dengan kotak segiempat bernama laptop yang sempat tertunda oleh penghematan listrik secara sepihak.

            “Arita” seseorang memanggil namaku pelan membuatku menghentikan langkahku sejenak dan mencari si pemilik suara.
            “Ada apa kak?” tanyaku pada pemuda yang menyapaku itu.
            “Gini Ta…mm..duh, gimana ya ngomongnya” kata pemuda itu terlihat bingung.
            “Adam….” Seseorang memanggil nama pemuda itu dan menghampirinya.
            “Hai Ta. Eh Dam, sumpah ya, gosip lo macarin anak Rektor itu menyebar hebat. Gw heran sama lo, lo kasih apa si Anita sampai bisa jadian sama lo” kata orang yang tiba-tiba datang itu.
            “Duh Dion, emangnya gw ada tampang suka macarin orang apa? Itu cuma gosip. Payah lu ah, temen sendiri kemakan gosip” kata Adam kepada Dion.
            “Ah, mau gosip mau bukan, sekarang ini yang penting adalah lo harus tahu bahwa lo itu mendadak terkenal” kata Dion.
            “Ha?” reaksi yang wajar jika Adam merasa heran, aku si pendengar kebetulan ini pun heran.
            “Pagi kak Adam” seseorang yang baru saja lewat menyapa Adam dengan lembut.
            “Eh, kak Adam, makin cakep aja” orang yang berbeda pun menyapa begitu saja.
            “Assalamualaikum kak Adam, salam ya buat kak Anita” keheranan kami pun terjawab.
            “Lo itu Dam, sebenarnya terkenal gara-gara nama Anita. Tapi, lama-lama juga lo dikenal sebagai orang jenius dengan IPK bertahan 3,8, juara karya tulis ilmiah tingkat lokal, nasional, dan internasional, jago basket dan catur, ketua Senat Fakultas, dan tampang lo juga gak jelek-jelek banget” kata Dion menambahkan, tapi sepertinya Adam tidak terlalu suka kondisi ini.
            “Tapi gw kan anak mesjid Bro…..” katanya terlihat menyesal. Dion hanya tertawa karena reaksi inilah yang ingin ia lihat dari sahabatnya. Setelah puas mempermainkan temannya ia pun pergi.
            “Jadi? Tadi kak Adam mau ngomong apa ya?” tanyaku menyadarkan Adam bahwa aku masih berdiri di sini.
            “Ah..iya Rita, masalah itu…” kata Adam mulai menbingungkan.
            “Kakak mau kasih tahu kalau gosip itu tidak benar? Aku percaya kok kak” kataku menebak.
            “Ah….iya Ta, jangan marah ya….” Kata Adam dan membuatku bingung setengah mati.
            “Kenapa harus marah?” Tanyaku heran.
            “Lho? Kamu gak marah toh? Katanya anak-anak kamu marah gara-gara kinerjaku jadi keganggu karena gosip itu. Kamu kan sekretarisku Ta, jadi wajar kamu marah karena kestabilan kita keganggu” kata Adam meneruskan. Aku menghela napas dan ingin sekali mengutuk kebodohan orang ini. Jelas saja banyak orang yang salah paham.
            “Sejak kapan Arita Nurhasanah ini jadi sekretaris pribadimu kak? Ckck. Aku tidak marah. Jadi tak usah khawatir, dan sebaiknya kakak siap-siap karena jam tiga ini akan ada forum dekanat untuk membicarakan masalah orientasi mahasiswa baru” kataku menjelaskan.
            “Lho? Forumnya hari ini?” tanya  kak Adam dan membuatku tambah kesal.
            “Hari ini jam tiga, Kalau kakak datang telat maka seperti biasa wajib mentraktir satu kepengurusan untuk makan malam” kataku tegas namun tetap terlihat tenang. Sebuah pernyataan yang kelihatannya selalu ampuh untuk mengatasi orang seperti kak Adam.

            Forum dekanat pun akhirnya berlangsung. Tapi nampaknya malam ini aku dan teman-teman Dewan Senat akan sedikit bersenang-senang karena ternyata ketua Sie Acara kami, Adam Anugrah, datang terlambat sekitar delapan menit. Tapi sepertinya bukan masalah besar, karena keterlambatannya itu tergantikan oleh presentasi yang mengagumkan dan mengundang tepuk tangan yang meriah. Ya, dalam hal ini kuakui dia memang luar biasa. Meski pun orang-orang bilang dari segi tampang, prestasi dan keahlian di bidang olahraga, orang ini juga tidak kalah luar biasa. Di dalam ruangan itu ada kak Anita sebagai undangan mahasiswa berprestasi yang akan mengisi acara di orientasi nanti. Ah, kalau orang yang satu ini, jelas dia adalah bintang yang sesungguhnya. Prestasinya di bidang akademik benar-benar mengagumkan. Dia memiliki tiga penghargaan Internasional di bidang presentasi dan karya tulis ilmiah. Wajahnya cantik dengan rambut tergerai panjang seperti bintang iklan shampo. Kulitnya yang putih mulus membuat wajahnya yang tanpa make-up itu menjadi pujaan banyak pria. Gadis ini benar-benar idola. Ia pun pintar olahraga dan menyanyi. Kepribadiannya lembut dan mudah disenangi banyak orang. Bukan orang yang sombong pula. Benar-benar sempurna. Siapa pun laki-laki yang digosipkan dengannya jelas akan mendadak terkenal dan kak Adam adalah laki-laki itu. Meskipun aku tahu, kak Adam lebih menyukai wanita berkerudung yang sederhana dibandingkan bintang seterang kak Anita.
            “Baik, kali ini saya persilahkan sekretaris saya untuk menyampaikan data administrasi mengenai komposisi pria wanita dan asal kedaerahan mahasiswa baru yang bisa kita jadikan referensi dari konsep yang baru saja saya sampaikan” kata Adam yang akhirnya memberiku giliran untuk berbicara. Aku pun menyampaikan semua hal yang telah kususun. Soal menulis dan prsentasi mungkin aku tidak sejago kak Adam dan kak Anita. Tapi, toh aku tetap bisa membuat semua peserta forum terpana pada data yang kusampaikan dan tetap saja aku mendapatkan tepuk tangan yang hangat.
            “Adam, Arita. Selamat. Presentasi kalian bagus sekali. Saya sangat suka konsep dari tim acara” kata pak Dekan seselesainya forum. Aku dan kak Adam jelas saja tersenyum senang.
            “Nanti, pas acara orientasi, saya berencana mau mengundang orang yang saya kenal sebagai seorang pembicara. Yah, memang sih. Profesinya tidak nyambung dengan fakultas kita. Tapi saya pikir dia adalah salah satu contoh pemuda sukses yang selama kuliah telah menunjukkan prestasi dalam perjuangannya. Kan selama ini fakultas kita selalu menunjukkan prestasi di bidang akademik. Nah, anak ini sangat prestasi di bidang entrepreneurship” kata dekan.
            “Kalau boleh tahu, lulusan mana dan profesinya apa ya pak?” tanya Adam.
            “Dia lulusan Institut Teknologi Bandung. Profesinya sebagai seorang Arsitek muda” kata dekan. Awalnya aku menyerahkan sepenuhnya masalah itu pada kak Adam, tapi mendengar nama ITB dan Arsitek disebut, entah kenapa aku merasa tertarik.
            “Sepertinya bagus pak jika dijadikan pembicara. Kita juga butuh referensi dari dunia luar sih pak. Biar anak-anak fakultas kita tidak terpaku pada suasana fakultas saja” kataku.
            “Baiklah, nanti nak Adam tolong hubungi. Nih nomornya. Anaknya insyaAllah baik dan menyenangkan. Masalah bayaran gak usah terlalu dipikirkan. Kasih plakat saja, dia kenalan saya kok” kata pak Dekan menyerahkan sebuah kartu nama yang aku tidak berkeinginan untuk melihatnya.

            Menjelang masa orientasi mahasiswa baru, semua orang sibuk.  Meskipun di senat Fakultas aku adalah seorang sekretaris, tapi di acara tersebut aku dipercaya lagi menjadi anak buah kak Adam sebagai staff divisi acara meskipun tetap saja jadi sekretaris divisi. Paling tidak, rasanya jauh lebih menyenangkan dibandingkan hanya menulis  notulensi, mengurusi presensi dan surat-surat. Kak Adam sendiri dipercaya sebagai ketua Divisi acara.  Kesibukan yang teramat sangat bahkan membuatku jarang bertukar cerita lagi dengan Rei, teman sekamarku yang tidak terlibat acara ini. Aku menikmati kesibukan ini sampai pada hari orientasi tiba.
            “Rita, kamu bisa gak jemput pembicara? Kamu kan bisa nyetir. Orang itu bawa mobil kok, jadi kamu cuma bertugas sebagai penunjuk jalan. Aku hari ini jadi coordinator lapangan, jadi pembicara yang orang ITB rekomendasi pak Arif itu gak sempet terurus. Tugas juklak udah beres kan? Time keeper sudah dikasih tugasnya ke Hana” kata kak Adam memberiku tugas. Aku menyanggupi dan ia memberikan kunci motor padaku.
            “Sepuluh menit lagi di gerbang kampus. Mobilnya itu APV warna putih dengan plat mobil B 2310 AD” kata kak Adam. Aku pun langsung pergi.
            Aku tiba lima menit lebih awal di gerbang kampus dan kulihat mobil yang dibilang kak Adam pun sudah ada. Aku menyapa si pembicara dan memberinya isyarat untuk mengikutiku. Di tempat ini kami tidak bisa mengobrol banyak karena terlalu banyak mobil yang lalu lalang. Lagipula sebelumnya kak Adam sudah menghubungi beliau bahwa aku akan menjemputnya.
            Mobil APV putih itu mengikutiku hingga ke tempat parkir. Tempat parkir motor dan mobil memang tidak sama, tapi tidak terlalu jauh. Aku langsung menghampiri si pembicara yang tengah menutup pintu mobilnya dan menguncinya.
            “Maaf ya Pak, tadi saya tidak menyapa langsung, soalnya banyak mobil” kataku pada sosok itu. Sosok yang tiba-tiba saja membuatku terkejut saat ia membalikkan badannya.
            “Kamu benar-benar gak sopan. Masa manggil saya Pak. Lupa ya sama saya?” kata orang itu yang membuatku diam dan tiba-tiba saja bingung harus berkata apa. Aku memang tidak pernah tahu nama pembicara ini karena aku sibuk mengurusi administrasi sie Acara. Saat di gerbang tadi, orang ini memang bisa melihatku dari kaca mobilnya, tapi aku tidak bisa. Hanya saja, tidak pernah sekali pun aku menyangka bahwa lulusan ITB, arsitek muda berbakat yang dibanggakan pak Tony itu adalah…
            “Kak…Ryan?” akhirnya aku pun mengeluarkan keberanianku berbicara. Orang itu tersenyum. Oh Rei, bintang yang bersembunyi di balik awan itu tiba-tiba muncul di hadapanku dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Rei yang biasanya memberi nasehat pun tiba-tiba muncul dan memberitahuku bahwa jangan sampai aku lupa tentang profesionalisme dalam menjalankan amanah.
            “Sama sekali tidak menyangka, arsitek muda berbakat yang diceritakan pak Tony itu adalah kakak. Maaf ya kak, saya tidak sempet memeriksa baik-baik nama pembicara sih. Hehe” kataku dan kurasakan wajahku memerah sepenuhnya. Reaksi yang sama seperti dahulu, saat pertama kali aku bertemu dengannya.
            “Santai aja Arita. Lama ya tidak bertemu. Pengen ngobrol-ngobrol banyak nih sama orang yang satu almamater, tapi acaranya sudah mau mulai bukan?” kata kak Ryan menyadarkanku akan waktu. Aku pun mengajaknya ke tempat acara berlangsung. Oh Rei, rasanya waktu ingin terhenti saja. Lima tahun penantian dan baru bertemu di saat yang tidak terduga.
            Kak Adam menyadari keanehanku. Aku yang cerewet ini tiba-tiba saja diam tanpa kata. Acara yang diisi oleh kak Ryan selalu menarik. Sama seperti dulu. Aku tak pernah berhenti tertawa mendengarkan humor-humornya yang segar dan cerdas. Saat itu tanpa sadar aku sudah jatuh cinta padanya. Apalagi, ia adalah seorang mahasiswa Arsitektur ITB, cita-citaku dahulu. Hanya saja, aku merubah cita-cita itu sehingga bersekolah di jurusan IT ini. Kupikir hanya sebuah kekaguman, tapi lama-kelamaan aku tak pernah bisa melupakannya. Hingga saat ini. Interaksi ku secara langsung padanya hanya berlangsung dua kali, yaitu saat menanyakan masalah Arsitektur ITB dan tentang kenalan ayah yang katanya dosen di sana. Hanya itu, tapi tidak pernah bisa kulupakan.
            “Ta….kamu suka ya sama arsitek itu?” kak Adam menyadarkanku.
            “Apaan sih kak? Pertanyaan aneh” protesku.
            “Kamu lagi yang aneh. Jangan-jangan kamu termasuk cewek-cewek yang di sana itu ya? Anak baru yang kesemsem tiba-tiba sama orang keren yang baru aja datang” kata kak Adam dari balik panggung menunjuk sekumpulan anak baru yang sepertinya memuja kekerenan kak Ryan. Padahal sebelum kak Ryan masuk, kak Adam juga sempat masuk untuk jadi moderator acara sebelumnya dan reaksinya sama. Mereka penggemar instant. Enak saja disamakan denganku. Kalau aku, sudah lima tahun aku menjadi penggemar bintangku yang bersembunyi di balik awan itu.
            “Gak jawab, berarti benar” kata kak Adam mulai meledek. Aku pun tidak memperdulikannya. Aku justru memperhatikan setiap kata yang diucapkan kak Ryan, lalu tertawa karena guyonannya yang unik dan kurindukan. Acara hari ini selesai, aku minta izin kepada kak Adam untuk tidak ikut evaluasi. Aku jujur padanya bahwa kak Ryan adalah alumni sekolahku dulu dan aku benar-benar ingin mengobrol beberapa hal dengannya. Seperti mimpi karena kak Ryan mengajakku makan di kantin.
            “Oh, jadi kamu sekretaris Dewan Senat. Pantesan dekat dengan pak Tony. Tak disangka ya, kamu berubah sekali Arita. Awalnya saya tidak kenal lho, tapi ya…ingat juga sih akhirnya” kata kak Ryan sambil menyantap soto mie kantin kampusku yang terkenal enak.
            “Berubah gimana kak?” tanyaku berusaha menyimpan rasa maluku.
            “Tambah dewasa dan cantik, kalau dibandingkan dengan waktu kamu umur 15 tahun. Beda sekali lho” katanya membuatku tersipu.
            “Tapi kakak sama sekali tidak berubah” kataku kemudian. Kak Ryan menghentikan makannya.
            “Arita, saya boleh tanya? Kenapa kamu tidak jadi masuk Arsitektur ITB?” Tanya kak Ryan tiba-tiba saja. Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar.
            “Saya kecelakaan kak, sebelum pendaftaran SPMB. Kecelakaan itu membuat saya sudah tidak bisa menggambar dengan baik dengan tangan saya” kataku pada kak Ryan. Tapi aku sama sekali tidak tampak sedih. Namun kak Ryan seperti menyesal menanyakan hal itu.
            “Tenang kak. Memang sih, sekilas seperti saya telah kehilangan cita-cita saya. Tapi justru dari kecelakaan itu saya menemukan jauh lebih banyak cita-cita yang lebih tinggi. Saya pun mulai berpikir untuk menjadi ahli IT bertaraf Internasional, menciptakan berbagai macam program dan rasanya tidak kalah menyenangkan seperti berhasil menciptakan sebuah desain bangunan yang keren” kataku. Kak Ryan pun tersenyum. Benar-benar senyum yang indah.
            “Padahal saya waktu itu berharap besar kamu bisa datang ke jurusan yang sama dengan saya” kata kak Ryan membuatku bingung.
            “Kenapa kak?” Tanya Arita.
            “Mm..kenapa ya? Entah kenapa saya merasa dulu kamu itu begitu istimewa. Mata kamu saat berbicara tentang  cita-cita itu seperti berbinar seterang bintang. Saya suka itu karena pada dasarnya saya bukan orang yang punya cita-cita tinggi. Saya merasa meski hanya sebentar, tapi saya menemukan semangat dari kamu Arita. Rasanya menyenangkan” kata kak Ryan membuat jantungku berdegup kencang. Aku tidak terlalu mengerti apa yang dikatakannya, tapi terdengar menyenangkan sekali.
            “Aku dulu juga suka, dengan cara berpikir kakak. Kakak membuat aku sadar kalau dunia ini luas dan kesempatan meraih cita-cita itu terbuka lebar sekali” kataku mencoba menyembunyikan perasaanku dalam rangkaian kalimat barusan.
            “Wah..kalau begitu kita cocok dong? Sayang ya, manusia itu tidak boleh berandai-andai. Saya membayangkan kalau saja kamu masuk jurusan yang sama dengan saya mungkin kita akan cukup dekat. Haha. Tapi  takdir Allah berkata beda, kamu menemukan hal yang kamu cari di sini dan sepertinya matamu jauh lebih berbinar dibandingkan dulu” kata kak Ryan semakin membingungkanku.
            “Tapi, kakak, susah sekali ditemukan ya. Muncul tiba-tiba dan membuatku kaget” kataku mengalihkan pembicaraan.
            “Oh ya? Aaah, memang sih. Saya tidak terlalu tertarik dengan facebook jadi orang agak susah menemukan saya. Saya sempat ganti nomor tiga kali karena kehilangan Hp, ganti rumah dua kali dan sempet ganti-ganti kantor. Hehe. Ya, namanya juga dinamika kehidupan. Tapi nomor saya yang sekarang itu insyaAllah gak bakal ganti lagi. Simpen ya” kata kak Ryan. Aku mengangguk. Kak Ryan telah menyantap habis soto mienya.
            “Arita, saya harus pergi nih. Ada urusan penting. Tidak usah diantar, kamu juga ada rapat kan? Terima kasih sudah ditemani mencicipi soto mie sini. Ternyata memang enak sekali” kata kak Ryan mengemas barang-barangnya. Aku merasa sangat tidak ingin kehilangan dia secepat ini.
            “Yuk. Assalamualaikum” katanya pergi. Aku pun menjawab salamnya. Aku menyaksikan bintang di balik awanku tiba-tiba menjauh sampai aku tidak dapat melihat punggungnya lagi. Ah…aku bahkan lupa memberitahukan nomor Hp ku.
            “Sudah kencannya?” kak Adam tiba-tiba datang dan membuatku tersadar.
            “Apaan sih kak?” kataku tersipu dan menunjukkan sedikit rasa kesal yang dibuat-buat.
            “Udah, istirahat dulu sana! Besok kita masih ada acara kan? Nanti jam tujuh kita briefing. Semangat ya, ibu sekretaris” kata kak Adam yang kemudian pergi begitu saja. Orang ini, bahkan meskipun aku berada di Sie Acara, aku tetap dijadikan sekretarisnya.
            Aku pun kembali ke kosan. Kuceritakan pada Rei apa yang terjadi hari ini. Ia tidak memberiku saran terlalu banyak. Hanya menyuruhku jangan membangun harapan yang tidak-tidak. Itu pun aku sudah tahu. Aku hanya terkejut. Sangat terkejut. Sampai pada saat rapat berlangsung sekitar pukul 19.20, aku dapat sms. Assalamualaikum, Arita. Tadi saya tanya nomor kami dari Adam. Senang bisa bertemu denganmu hari ini. Aku berharap kamu dan Adam bisa datang. Nanti biar pak Tony saja yang menyampaikan. Ryan. Karena sedang rapat, aku tidak berani membalasnya. Kurasa, kak Adam pun telah mendapatkan sms yang serupa. Kami sempat bertemu mata seakan mengetahui hal yang sama tapi lalu melupakannya karena hari ini banyak masalah yang terjadi dan besok adalah pertarungan terbesar kami di acara ini.
“Oh, jadi nak Ryan sudah bilang ya. Padahal saya baru saja mau kasih tahu” kata pak Tony di tengah kesibukannya menandatangani banyak surat.
            “Gini saja, besok kalian dijemput supir saya jam sembilan di depan gerbang kampus ya” katanya singkat dan masih terlihat sibuk. Karena tidak enak mengganggu, kami pun langsung pamitan tanpa mengetahui apa pun selain harus datang jam sembilan di depan gerbang kampus.
            “Memangnya ada acara apa sih?” tanyaku pada kak Adam.
            “Gak tau. Kalau ada hubungannya dengan kak Ryan, mungkin ada semacam peresmian gedung baru. Soalnya kemarin kak Ryan sempet ngomong kalo dia baru saja menyelesaikan satu project gitu” kata kak Adam. Aku ber-ooh saja. Tapi aku semakin senang dan bahagia karena jika benar, aku tiba-tiba saja menjadi sangat istimewa karena menjadi undangan yang spesial untuk sebuah moment yang begitu berarti bagi kak Ryan.
Jam Sembilan di gerbang kampus telah tiba. Aku memakai stelan terbaikku hari ini. Kak Adam saja sampai terpana melihatnya. Tenang saja, aku tidak memakai make-up kok. Hanya bedak, lip ice, dan mascara. Benar-benar natural. Tapi seperti menggambarkan betapa cerahnya hatiku saat ini karena aku akan segera bertemu lagi dengan bintangku yang bersembunyi di balik awan. Tapi kak Adam juga memakai stelan yang tidak kalah keren. Yah…lumayan lah.
            “Katanya kak Anita juga mau datang lho” kata kak Adam di perjalanan.
            “Oh ya? Wah, pantesan kakak dandan keren banget kayak gitu. Hehe” ledekku.
            “Oh, kamu mengakui kalau aku ini keren?” kata kak Adam membuatku menyesali kata-kataku.
            “Tapi, kak Anita benar-benar seorang bintang ya? Rasanya hampir tidak ada acara di kota ini yang berlangsung tanpa kehadirannya. Benar-benar cewek idola” gumamku.
            “Masa sih? Menurutku biasa saja. Dia ikut kan gara-gara pak rektor juga ikut” kata kak Adam.
            “Iya juga ya. Lagian pak Tony sama pak rektor kan juga kakak adik. Tidak heran mereka ada di acara yang sama” kataku. Tapi tiba-tiba saja aku mulai heran. Kak Ryan dan pak Tony kenalan di mana ya? Aku pun bertanya pada supir pak Tony yang menjemput kami.
            “Oh, mesjid yang kita datangi itu, dirancang oleh nak Ryan. Itu mesjid yang didanai oleh pak Tony dan Pak Hamim” kata sopir. Pak Hamim itu adalah Rektor kampus kami. Memang sih dengar-dengar mereka akan membuat sebuah mesjid terbesar di kota ini. Tapi tidak sangka secepat ini. Jadi itu alasannya kak Ryan kenal dengan dekan kami.
            Kami pun tiba di mesjid yang dimaksud. Benar-benar terkesima dengan bangunan yang berwana perak keemasan yang bernuansa timur tengah. Begitu cantik. Aku membayangkan kerja keras kak Ryan mendesain bangunan ajaib ini.
            “Cantik sekali…..” kak Adam tiba-tiba bergumam. Ya aku juga berpikir demikian. Tapi mata kak Adam  bukan tertuju pada bangunan ini melainkan pada seseorang yang baru saja turun dari mobil Avanza hitam. Itu kak Anita yang memakai busana muslim. Ya, dia benar-benar cantik seperti bidadari. Apakah karena ini mesjid, jadinya ia berdandan seperti itu? Ah…tapi dandanan itu bukan sekedar dandanan undangan biasa. Itu terlalu mewah.
            “Cantik banget. Jadi itu mempelai wanitanya?” seseorang yang tak jauh dari kami mengejutkan dan seakan menjawab pertanyaanku. Dunia seakan berhenti saat itu juga.
            “Beruntung banget ya, arsitek yang  bikin mesjid ini. Dapat calon istri yang cantik, pinter, berbakat, kaya pula” kata suara yang lain dan aku merasa seluruh dunia runtuh dan aku ingin segera menghilang dari dunia ini. Jadi hari ini bukan sebuah acara peresmian gedung baru melainkan…
            “Akad nikahnya dimulai lima menit lagi. Ayo dik” si supir mengajak kami masuk tapi aku sama sekali tidak bergerak. Aku baru menyadari bahwa di dekat pintu masuk gerbang mesjid itu ada tulisan “AKAD NIKAH ADRYAN APRIANTO & ANITA LESTARI”.
            “Bapak duluan saja. Kami ada urusan sedikit” kata kak Adam menanggapi ucapan si supir. Supir itu pun menurut. Aku masih tidak bergeming.
            “Lebih baik menangis di sini Ta. Mumpung sepi” kata kak Adam seakan tahu masalahku. Aku tidak berani menunjukkan wajahku. Ia bahkan tidak tahu aku menangis atau tidak. Cukup lama aku tidak bergeming. Hanya terdiam saja. Terlalu cepat rasanya merasakan rasa yang amat pahit ini.
            “Dulu, aku pernah membayangkan hal ini benar-benar akan terjadi. Lalu, apa yang akan kulakukan? Menangis meraung seperti anak kecil, menyembunyikan diri di balik bantal…..” aku pun mulai berbicara. Suaraku memang bergetar tapi aku tahu aku tidak menangis.
            “Atau aku akan dengan tegar memberikan selamat dengan seseorang sudah berada di sampingku menggantikan keberadaannya di hatiku” kataku. Aku lalu terdiam lagi.
            “Aku tidak akan menangis ataupun menyembunyikan diri di balik bantal. Tapi, aku juga tidak sanggup memberikan selamat” kataku lemas dan menundukkan kepala semakin dalam.
            “Karena belum ada seseorang  di sampingmu yang menggantikan keberadaannya di hatimu?” tanya kak Adam. Aku tak berani menjawab.
            “Aku masuk. Kau ikut tidak?” tanya kak Adam. Aku masih tidak dapat melangkahkan kakiku.
            “Hei, aku tahu aku belum bisa menggantikan keberadaannya di hatimu. Tapi paling  tidak saat ini ada seseorang di sampingmu bukan? Kalau begitu masuklah dan ucapkan selamat” kata kak Adam dengan nada tegas dan membuat pikiranku yang tadinya tidak tentu, terkejut oleh ucapannya.
            “Aku…pasti bisa lebih hebat dari orang itu. Dua atau tiga tahun lagi” katanya merendahkan nada suaranya seakan-akan malu, lalu berbalik badan dan melangkah masuk ke pintu masjid. Desain pintu utama itu sangat unik. Saat kak Adam melangkah masuk, aku baru menyadari bahwa bentuk ukiran pintu itu sama seperti bintang. Kak Adam, terlihat seperti bintang yang sangat terang sekali. Aku pun melangkah masuk mengikutinya dan kata-kata Rei terngiang kembali di telingaku.
Daripada repot-repot mengharapkan kehadiran bintang di balik awan itu, ada baiknya kamu melihat bintang-bintang yang ada di sekelilingmu. Pasti ada satu bintang yang sangat terang sekali.