Rasa rasanya




"Rasa rasanya…. aku belum pernah merasakan jatuh cinta".
Ungkap seorang kawan di suatu malam. Aku tersenyum senang mendengarnya.

Kamu tahu kawan… tidak ada yang istimewa dari jatuh cinta. Ada perasaan senang tercampur gelisah, perasaan rindu tercampur ragu. Tiba tiba saja ada banyak kupu kupu. Ah… bagiku… jatuh cinta itu merepotkan. Semakin kamu bahagia, semakin besar juga luka yang terasa kelak. Biasa sajalah. 

Bukankah hidup kita saat ini menyenangkan? Memiliki teman yang banyak, keluarga yang utuh, pekerjaan yang bagus, cita-cita yang tinggi. Terlebih dari semua itu, kita punya keimanan dan keislaman….
Suatu saat nanti kita akan jatuh cinta. Jika belum… baguslah. Itu berarti… kita masih diizinkan bahagia tanpa harus terluka.
Aku serius kawan…. nikmati masa masa di mana jatuh cinta itu belum menghampiri. Bagiku… itu adalah masa masa yang menyenangkan. Kamu bisa berbagi dengan siapa pun… dengan apa pun, mengunjungi tempat mana pun yang kamu suka tanpa khawatir tentang hal sederhana bernama ‘perpisahan’ dan ‘pertemuan’.
Jagalah hati itu… hati yang tak terjatuh.
Berdoa saja… semoga kelak, ia akan jatuh di saat dan tempat yang tepat.
November 20th
Miezfy
RSIA Restu Kasih, Cililitan

Senja Jakarta Hari Ini



Tak pernah habis dunia bersajak tentang senja
Seperti hari ini
Aku menyapa senja dari balik jendela transjakarta
Mengagumi jingga malu malunya bersembunyi di balik pencakar langit
Biru yang menggelap perlahan tersenyum mengantar malam
Kerlap kerlip lampu pengguna jalan memesona ibukota
Tapi hanya aku yang mengagumi senja Jakarta
Mereka di kanan kiriku tak menyadari cantiknya
Terlelap dalam tidur pura pura
Atau menenggelamkan diri bersama gadget
Senja hari ini memang istimewa
Dia tak lagi muram dan basah
Begitu cerah bak putri raja jatuh cinta
Padahal ini awal musim penghujan
Aku menatap senja sampai ia tiada berganti gelap
Dari mengagumi ciptaanNya.. kini saatnya berkisah padaNya tentang kekaguman itu
Meski Ia tahu…dan selalu tahu…
Paling tidak ingin kusampaikan terima kasih kepadaNya karena telah menciptakan senja…

November 18th, 2013
@miezfy
Tranjakarta Tj Priok-Cililitan

Saat




Saat september, aku menunggu Desember
Desember datang, aku menunggu Januari
Kini menunggu datangnya Juni
Lalu saat Juni tiba… akankah kembali menunggu Januari?
(Permulaan tahun,2013)
Juni itu telah terlewati…
tidak hanya Juni. Tapi juga Juli, Agustus, bahkan Desember sedang dalam perjalanannya untuk tiba.
Tapi aku tak lagi menunggu apa pun. Tidak juga Januari.
Tiada hari tanpa langkah
Tiada bulan tanpa perjalanan
Tiada tahun tanpa pembelajaran
Sebuah kehidupan baru, tanpa penantian.
18 November, 2013
Sunter Podomoro

Sebuah kisah




Aku suka pantai…
Melihat cantiknya matahari dan warna jingga malu malu…
Bermain bersama pasir, menapak jejak….
Menyatu dalam lautan, mengenal kebebasan.
Pantai dan lautan
tempat terbaik untuk bercerita tentang rindu
Penat terlepas menjadi untaian sajak
Bisik hati menjelma sebagai angin pengantar pesan
Romantisme yang ditawarkan, membuatku hanyut dalam kisah senja yang indah.
Aku suka pegunungan…
Menikmati lelah dalam pendakian menuju puncak.
Bercengkrama dengan pepohonan, bebatuan, sesekali kerikil tajam.
Memaknai kehidupan bersama edelweis, bunga keabadian yang tetap indah sekalipun telah habis masa rekahnya.
Mengunjungi negeri di atas awan,  merasakan kebebasan.
Pegunungan dan negeri di atas awan adalah tempat terbaik untuk bercerita tentang impian
Ragu terlepas menjadi cita-cita
Bisik hati menjelma sebagai harapan
Ketegaran yang mereka tawarkan membuatku bangkit dari kisah sesak di suatu pagi.
Kisah tentang gunung dan pantai,
Lautan dan negeri di atas awan…..
Adalah kisah tentang mengenal luka. Mengenal datangnya, mengenal perginya.
Datanglah ke pantai, pergilah mengenang bersama lautan.
Datanglah ke gunung, rayakan rasa sakit bersama negeri di atas awan…
November, 17, 2013
Kelapa dua wetan

IBU (Teater Koma) -- Sebuah Ulasan

Sebenarnya ini bukan resume yang terbaik. Selain sudah pernah terhapus karena sebuah kesalahan bodoh, masih banyak para blogger penikmat seni yang telah mengulas lebih komprehensif. Bahkan, karena keterbatasan gadget, saya hanya bisa mengambil foto-foto dari google saja.. hehe.

***

Well... ini mungkin memang bukan pertunjukan teater pertama yang saya hadiri. Hmm.. tapi bisa dibilang ini adalah pertunjukkan teater berkelas pertama bagi saya. Teater Koma sendiri merupakan salah satu teater ternama yang sudah menggarap beberapa karya para dramawan dunia antara lain William Shakespeare, Georg Buchner, Moliere, Aristophanes, Arthur Miller, George Orwel, Alfred Jarre, Friedrich Durrenmatt, Evald  Flisar, dan Bertolt Brech. Siapa mereka? Silahkan googling ya. Di antara semua karya yang dipentaskan Teater Koma tersebut saya hanya tahu Romeo Yuliet dari William Shakespeare. Haha.

Pementasan yang saya dan keempat teman AADT hadiri 14 November lalu itu berjudul IBU, disadur dari naskah BERTOLT BRECHT, seorang dramawan sekaligus penyair legendaris asal Jerman dengan judul asli Mutter Courage und Ihre Kinder (Mother Courage and Her Children). Disutradarai oleh N. RIANTIARNO, produksi ke 131 Teater Koma ini digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki.

Sosok IBU dan keretanya yang menggantung langsung menyambut kami di pintu masuk. Beberapa menit keterlambatan tidak mengurangi ke "excited"an saya akan pertunjukan ini. Meski harus mengeluarkan uang yang lumayan (setara dengan dua tiket XXI), tapi tidak mengapa. Bagi saya... pertunjukan teater selalu keren dan menarik. 

 
 photo by me

Saya langsung dibuat kagum oleh sosok Ibu Brani yang diperankan oleh Sari Madjid. Permainan karakter yang benar-benar hebat. Begitu kuat dan stabil. Seakan terperangkap pada alur cerita bersama sosok Ibu Brani yang tegas, penuh keberanian, dan gigih. Ibu Brani beserta ketiga anaknya- si sulung Elip, Fejos si Keju Swiss, dan si bungsu bisu Katrin- hidup di tengah peperangan antara dua resimen yang memperebutkan kekuasaan, yaitu Matahari Hitam dan Matahari Putih. Prinsip Ibu Brani, dia tidak mau terlibat tapi harus memperoleh keuntungan dari peperangan. Sedikitnya jumlah pedagang kelontong menyebabkan Ibu dan ketiga anaknya bisa leluasa berjualan dengan kereta warungnya.

 Ibu Brani dan ketiga anaknya (source: foto.ureport.news.viva.co.id)

 Ibu Brani (source yudasmoro.net)


Sayang, malang tak dapat ditolak. Meski sudah dilarang keras, secara berturut turut, Elip dan Fejos pun masuk menjadi tentara Matahari Hitam. Elip masuk terlebih dahulu sebagai prajurit, sementara Fejos masuk setelahnya sebagai Juru Bayar. Tinggallah Katrin si bisu yang menemani Ibu Brani berjualan. Ibu selalu berjanji kepada Katrin untuk mencarikan suami saat perang telah berakhir. Dia tak mau nasib putrinya sama seperti Ipit Poter (di naskah asli bernama Yvette Pottier), wanita jalang langganan warung Ibu Brani. Lalu, dua pria masuk ke dalam kehidupan ibu Brani. Kaplan, pendeta Matahari Hitam yang menyamar serta Domba si Koki (atau Piter si Pipa).

 Ipit Poter (source : nimadesriandani.wordpress.com)
 
 Ibu (tengah) di antara dua pria, Piter si Pipa (kiri) dan Kaplan si pendeta (kanan) (sumber : www.adjisubela.com)


Elip si sulung menikmati masa masanya menjadi prajurit. Kecerdasan yang selalu dibanggakan oleh Ibu Brani itu menjadikannya orang yang dipercaya oleh para jenderal. Tapi bukan peperanganlah namanya, jika seorang prajurit jauh dari bedil yang menembak. Sementara Fejos, meski kurang cerdas, tetapi kejujuran yang selalu dibanggakan Ibu juga membawanya menjadi orang kepercayaan.

 Elip (kanan), Jenderal (tengah), pendeta (kiri)  (sumber : nimadesriandani.wordpress.com)

Katrin Hupla namanya. Ia bisu. Tapi, di antara semua peran, dia adalah favorit saya. Padahal saat di awal, saya berpikir... "ih...garing amat dapat peran jadi orang bisu. Gak ada dialog yang harus dihapal". Coba bandingkan saja dengan sosok Ibu yang harus menghapalkan berbaris baris bahkan berlembar lembar dialog panjang. Tapi.... bisa jadi justru peran inilah salah satu yang tersulit. Diperankan oleh Ina Kaka, sosok Katrin adalah yang paling menarik perhatian, dan sekaligus paling banyak mengundang tawa. Keluguan, kepolosan, dan spontanitas tanpa katanya sukses mencuri hati penonton. Salah satu adegan yang paling saya ingat adalah saat Katrin begitu stress karena Fejos tak juga mengerti apa yang ia coba jelaskan. Seluruh anggota tubuh yang bergerak menggantikan bahasa kata yang tidak dimilikinya. Kalimat Fejos "hanya Ibu yang mengerti kamu" dan ekspresi stress Katrin langsung mengundang tawa kami.

 Katrin (kiri) dan Fejos (kanan) saat Katrin sedang berusaha menjelaskan keadaan bahaya pada Fejos. (sumber : nimadesriandani.wordpress.com)

Banyak adegan yang mengundang tawa bukan berarti ini adalah kisah komedi. Setelah Katrin gagal menjelaskan kepada Fejos tentang kedatangan prajurit musuh ke tempat mereka saat dia pergi, Fejos tetap meneruskan rencananya untuk membuang peti uang ke sungai. Dan tertangkaplah ia. Ibu Brani pun pada akhirnya melakukan tawar menawar untuk menebus anaknya melalui Ipit Poter. Tapi..waktu tawar menawar yang terlalu lama membuat semuanya terlambat. Fejos pun terbunuh dengan 11 tembakan di tubuhnya. Lebih menyedihkan lagi.... Ibu Brani terpaksa tidak mengakui jenazah anaknya saat prajurit itu datang membawa tubuh tergulai yang tidak bernyawa itu pada mereka. Adegan ini adalah adegan yang terbaik menurut saya. Kebisuan Ibu Brani, tangis tanpa kata dari Katrin... cukup menggambarkan suasana yang lebih dari sekedar kesedihan. Penyesalan, rasa kehilangan yang besar, ketidakberdayaan, terasa begitu nyata oleh akting yang minim kata saat itu. 

 Katrin dan Ibu Brani saat mendengar kematian Fejos. Oh maan.. saya paling suka adegan ini. (sumber : cabiklunik.blogspot.com)

Singkat cerita, perdamaian pun tiba. Perdamaian yang dinanti sejak lama. Saat di mana Katrin sudah dijanjikan Ibu untuk dicarikan seorang suami. Tapi ternyata perdamaian tak lagi indah. Katrin mendapatkan cacat di mukanya setelah sebelumnya diserang oleh prajurit saat perjalanan ke pasar. Ia tak lagi mau bertemu siapa pun. Selain itu, bagi Ibu Brani, perdamaian berarti kebangkrutan karena kereta warungnya tak lagi ramai. Saat semua orang berbahagia karena perang, Ibu dan Katrin justru tenggelam dalam kepasrahan nasib.

Elip yang ditunggu tunggu pun datang. Tapi saat itu, Ibu tengah ke pasar untuk menjual kembali barang dagangannya. Tapi Elip datang tidak sebagai pria bebas. Ia datang bersama dua polisi. Kebiasaannya membantai petani saat jaman perang dulu, membawanya ke dalam posisi sulit. Belum sempat bertemu ibunya, ia pun pergi bersama kedua polisi tersebut.......dan tidak pernah kembali.

Perdamaian setelahnya tinggallah nama. Perang berkecamuk lagi. Setelah ditinggalkan oleh Kaplan si pendeta, kini giliran Piter yang menemani Katrin dan Ibu. Kehidupan mereka semakin sulit. Rakyat semakin miskin dan tidak mampu membeli. Sampai suatu ketika, Piter mengajak Ibu untuk hidup bersamanya mengurus bisnis penginapan. Tapi sayang, pria itu tidak ingin Katrin yang bisu dan cacat turut serta. Dan karena itu, Ibu Brani meninggalkan Piter. Tinggallah mereka berdua saja yang menarik gerobak...

Kisah ini pun mencapai akhirnya. Saat Katrin yang lugu, polos, dan naif mengeluarkan keberaniannya membunyikan genderang untuk meminta bantuan. Upayanya menuai hasil... tapi sayang, itu adalah keberanian pertama dan terakhir yang dikeluarkannya. Katrin pun tertidur untuk selamanya akibat luka tembak dari prajurit Matahari Putih.

kematian Katrin (source : www.jakpost.travel)

Tidur,tidurlah anakku sayang
Tiada lagi yang perlu kau risaukan
Satu anakku mati di tanah seberang
Satu lagi entah di mana sekarang
-senandung sang Ibu sambil mengusap jenazah putrinya-

Ibu Brani pun tetap melangkah dalam perang yang masih berkecamuk, menarik keretanya, sebatang kara.....
 
-the end-

***

Ini bukan kisah tentang hubungan romantis antara anak dan orangtua. Tidak juga bercerita tentang kisah mengejar impian dan cita-cita. Bagi saya kisah ini seakan mengatakan bahwa bertahan hidup bukanlah perkara yang mudah. Kita akan selalu dihadapkan dalam pilihan. Seperti Ibu yang memilih kereta warung untuk berjualan demi mempertahankan hidup. Seluruh dunia boleh mengutuk peperangan. Tapi baginya, perang adalah ladang uang. Tapi.... peperangan tetaplah peperangan, tak pernah sedikitpun membawa kebaikan. Baik bagi pihak yang menang maupun bagi pihak yang kalah, peperangan tetap merupakan nestapa untuk rakyatnya. Bahkan bagi orang yang mengambil untung dari peperangan seperti Ibu Brani, tetap saja peperangan merenggut harta yang paling berharga, anak-anaknya.

Selebihnya ini adalah kisah tentang kondisi peperangan, kebusukan penguasa, korupsi, penyuapan, dan hal-hal sejenis bernama 'ketamakan' yang hidup bersama perang.

It was totally awesome...

Makasih buat Teguh, Nita, Offi, Lisdha, dan Arga (meski gak jadi nonton).
Resume yang "apalah ini" saya tulis secara khusus untuk AADT. :)

Seni menikmati seni




Ah... sudah berapa lama ya tidak menikmati panggung megah itu sebagai penonton. Terakhir kali saya menikmati pertunjukan teater adalah saat menyaksikan sebuah pementasan di GBK. Tapi saya kurang puas entah kenapa. Atau sebelumnya lagi.. saat sendiri bermain dalam pementasan "Lysistrata", saat event wisuda SMA dulu.
Fyi, tidak semua orang mengerti cara menikmati pertunjukan teater. Jelas.. jauh berbeda dengan menonton sinema layar lebar. Kita tidak akan menemukan layar yang membentang di sepanjang sisi ruangan, dengan ekspresi yang jelas dari masing-masing pemain. Kita juga tidak akan menemukan efek efek dahsyat yang akan membuat kita berdecak kagum, menutup mata karena kengerian,berteriak karena kaget, atau menahan nafas karena tegang.
Yang lebih terasa perbedaannya adalah saat seorang teman menolak ajakan nonton teater ternama yg akan saya kisahkan pertunjukannya ini dengan sebuah alasan realistis... "bayar tiket nonton itu sama aja beli dua tiket bioskop. Mending nonton bioskop aja dong"
Well..dude. Biarlah orang berkata apa. Sebuah seni itu sejatinya tidak dihargai dengan cara matematis.
Duduk di bangku VIP mungkin tidak akan membuat perbedaan jauh itu terlihat. Karena semua ekspresi, terbaca dengan jelas...
Tapi...cobalah rasakan saat berada pada bangku kelas reguler, di sanalah seni dalam menikmati pertunjukkan akan benar benar terasa.
Pertunjukan teater adalah seni peran tingkat tinggi. Tidak semua aktor ataupun aktris film bisa memainkannya. Mementaskan sebuah pertunjukkan berdurasi panjang di panggung megah, dengan vokal yang stabil dari awal sampai akhir jelas membutuhkan teknik tingkat tinggi. Belum lagi, untuk menyampaikan pesan pada penonton bangku belakang seperti kami... tidaklah cukup dengan suara ataupun mimik wajah. Jelas...kami tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Itulah mengapa... dalam seni peran ini, seluruh anggota tubuh adalah ekspresi, harus bergerak. Beda banget kan sama sinetron Indonesia yang cuma ngeshoot muka dengan make up menor.
Jangan terpaku pada jalan cerita. Kita tidak sedang menonton drama korea di layar kaca dengan para pria tampan dan wanita cantik. Banyak hal yang bisa kita nikmati dari pertunjukkan tersebut. Kesuksesan peran yang dimainkan, pesan yang ingin disampaikan, dekorasi panggung yang keren, musikal yang indah, penataan cahaya dan suara yang luar biasa, keteraturan blocking, ldan masih banyak lagi. Seakan akan melihat satu kesatuan seni yang indah. Sebuah keberaturan, kreativitas dan imajinasi yang berkolaborasi dalam panggung megah.
Rumus sederhananya adalah...
Setiap orang tidak bisa menikmati semua jenis seni.
Seperti saya yang begitu menyukai puisi, tapi tak pernah paham cara menikmati lukisan. Saya tidak pernah mengerti mengapa sebuah gambar pot bunga saja bisa bernilai hingga puluhan juta.
Jadi menikmati sebuah pertunjukan, harus diawali dengan ketertarikan dan bisa sedikit pengetahuan tentangnya. Asa beberapa pertunjukan yang bisa dinikmati oleh semua orang... tapi tidak sedikit pertunjukkan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mengerti cara menikmatinya.