Teruntuk Mamak

Di dunia ini banyak hubungan yang terbangun jauh lebih erat dibandingkn hubungan yang berasal dari darah yang sama.

Hubungan istimewa aku menyebutnya. Itulah yang terjalin antara aku dan Mamak.
Suramnya masa kecilku terus terang menyebabkan aku kehilangan ingatan masa kecilku paling tidak hingga aku berumur Sembilan tahun. Hal yang aku ingat di selang waktu Sembilan tahun ke bawah hanya satu… yaitu Mamak.

Mak Sri, begitulah orang biasa memanggilnya. Tapi bagiku dia adalah Mamak. Mamak bukanlah wanita yang melahirkanku, menyusuiku, ataupun berjasa besar dalam membesarkanku dan menyekolahkanku hingga berada di jalur pendidikan tinggi. Tidak. Setahuku uang Mamak bahkan tidak cukup untuk membeli perabotan rumah tangga yang sederhana.

Di dalam ingatanku, teringat jelas. Mamak adalah seorang wanita tua dengan senyum sederhana yang dengan senyum itu, aku yang masih kecil mampu merasa aman. Kuakui, pendidikan Mamak baik dari segi pendidikan umum maupun pendidikan agama tidak sehebat ataupun tidak setinggi Ibuku tercinta yag melahirkanku, menyusuiku, dan membesarkanku. Banyak orang yang juga mengatakan bahwa Mamak hanya memanfaatkan aku untuk bisa mencari uang dari kedua orangtuaku yang dulu memang sedang sibuk bekerja untuk menafkahi kelima anaknya sehingga tidak memiliki waktu untuk mencurahkan semua perhatiannya pada kami. Banyak orang meragukan ketulusan Mamak dalam merawatku ketika itu. Tapi, yang berada di dalam ingatanku adalah. Mamak adalah orang yang pertama kali menghampiri ketika aku terbangun karena mimpi buruk. Mamak adalah satu-satunya orang yang mau menemaniku ke toilet yang dulu letaknya berada jauh dari rumah kami (toilet umum), dalam kondisi gelap. Mamak sangat tahu bahwa aku benci sekali dengan kecoak dan tak pernah membiarkan sekali pun serangga itu mendekatiku. Mamak adalah orang pertama yang membuatku menyukai Susu Kental Manis Coklat. Aku selalu ingat betapa hangatnya genggaman tangan Mamak, dan betapa nyamannya ketika ia menggendongku.

Mamak….memiliki seorang anak yang sudah besar yang seharusnya bisa menjaganya. Tapi, ia selalu Nampak sendirian di dunia ini dan sepertinya hanya memiliki aku.

Waktu pun terus berjalan. Aku bertambah besar dn semakin bisa mengurus diri sendiri. Mama, atau Ibu Kandungku mengambil alih atas diriku di usiaku yang ke Sembilan (atau yang ke sepuluh). Mamak pun melepasku dengan tenang, lalu menjalani kehidupannya yang lama….. yang penuh kesendirian. Aku yang masih kanak-kanak dan tidak mengerti apa-apa pun menjalani hidupku seperti apa yang sudah digariskan Allah padaku. Kembali pada kedua orangtuaku yang sangat kucintai dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku punya dua kakak dan dua adik yang sebelumnya tidak pernah kurasakan keberadaannya, tetapi semakin bertambah usia justru semakin dekat aku dengan mereka.

Waktu terus berjalan…… jarak antara aku dan Mamak pun semakin jauh. Mamak tiba-tiba menghilang, pergi meninggalkan tempat kumuh kami yang dulu. Aku berpikir, dia pasti tengah meniti jalan yang lebih baik.
Waktu terus berjalan….. konflik pun semakin banyak terjadi di keluargaku. Pengkhianatan, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan, dan perceraian pun menimpaku yang masih berusia belasan tahun itu. Tapi tak pernah sekali pun aku berpikir untuk kembali pada Mamak. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya bisa bertahan dalam kondisi keluarga yang sedemikian rumitnya.

Ya…. Waktu terus berjalan.  Tiba-tiba saja aku sudah berusia dua puluh tahun. Sudah terbiasa dengan kondisi yang ada, dan mensyukurinya sebagai anugerah yang diberikan Allah padaku. Ingatanku terhadap sosok Mamak, memudar begitu saja. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana wajahnya dulu. Mungkin jika tiba-tiba bertemu, aku tidak bisa mengenalinya. Pernah rasanya aku bertemu dengan orang yang mirip dengannya, tapi ternyata bukan.

Lalu tiba-tiba saja…………

Waktu terasa terhenti

Ketika salah satu adikku mengirim sebuah pesan….

“Mba, Mamak Sri meninggal”

Aku terpaku dalam diam dan mencoba mencerna kata-kata itu. Sedih? Kaget? Entahlah…. Lebih tepatnya, aku tak tahu ekspresi apa yang harus kutunjukkan. Sudah bertahun2 lamanya tak kudengar kabarnya, dan ketika kabar itu datang, justru ketiadaan yang menghampiri.

“Udah lama, sipa aja baru dikasih tahu. Udah 100 hari. Katanya sebelum meninggal nyariin mba”

Tangisku pun pecah…… dan aku mulai mengutuki diri sendiri.

Mamak yang telah pergi dari kehidupanku selama sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih….. mencariku di detik-detik menjelang ajalnya, bahkan di saat aku tidak memikirkannya sama sekali.

Tangisku pun semakin pecah……………

Bodohnya aku yang tidak pernah berusaha mencari keberadaan wanita itu, wanita yang mencintaiku dengan tulus, meskipun darahnya tak setetespun mengalir dalam tubuhku.

Mamak……
Maafkan anakmu ini, yang tak tahu bagaimana caranya untuk membalas kebaikan.

Bukan seberapa banyak yang telah Mamak lakukan yang membuat hati ini teriris begitu sakit atas kepergianmu

Tetapi…..

Seberapa dalam, engkau mengukir namaku di dalam hatimu yang terdalam…. Hingga di sisa umurmu

Mamak……

Doa anak yang sholeh itu bisa menjadi penolong untuk seseorang yang telah meninggal bukan?

Mamak….. aku berjanji akan menjadi anak yang sholeh agar dapat selalu mendoakanmu Mak. Meskipun, aku tidak tahu sejauh apa doa itu akan sampai.

Mamak……
Terima kasih telah mencintaiku hingga di akhir waktu Mamak….

Aku dan Jilbabku



Malam.... dengarkan aku, bisikkan kepada mereka, katakanlah pada mereka... aku bahagia dengan jilbabku. Bisikkan pada mereka yang mencintai rambut dan kulit mereka, bahwa jilbabku menjaganya jauh lebih baik dibandingkan salon mana pun di dunia, bahkan dia menjaga dan  mempercantik apa yang tidak bisa salon mana pun lakukan, yaitu menjaga dan mempercantik hati. Bisikkan kepada mereka, bahwa rambut ini kelak akan memutih, kulit kelak akan menimbulkan kerutan.... tapi jilbab yang dikenakan ibuku bahkan mampu membuatnya terlihat sepupuluh tahun lebih muda, tanpa salon apa pun.

Malam.... bisikkan pada mereka yang sangat menyukai baju-baju lucu, unik, cantik. Apa yang mereka harapkan dari pria yang menyukai rok mini, ataupun baju tanpa lengan? Jilbabku, melindungiku dari pria-pria macam itu.

Malam... sangat sakit rasanya, jika rekan2ku sesama wanita... tidak mencintai diri dan hatinya, dan memilih menjual itu semua hanya untuk selera pasar... hal yang sama sekali tidak kekal. Bisikkan pada mereka.... apa yang mereka harapkan dari mata yang memandang tanpa henti rambut dan kaki indah mereka yang menjuntai? Tidakkah sadar bahwa bisa jadi ketika keindahan itu hilang, maka cinta itu pun hilang pula. Jilbabku, mungkin saja membawaku kepada cinta yang lebih kekal.

Malam.... mereka menunggu kesiapan hati untuk menerima kain yang menutupi tubuh mereka. Tapi, bisikkan pada mereka. Sesungguhnya hati mereka siap sudah sangat lama, tapi mereka menolaknya mentah2 dengan berbagai macam alasan. Mereka tidak pernah mau untuk membukanya meski ia menjerit. Jilbabku, bahkan mampu membuka kembali hati yang sempat tertutup oleh benci.

Malam... mereka bukanlah orang yang tidak pernah berdoa. aku pun demikian. jilbabku mengajarkan,doa macam apa yang ingin kau agar dikabulkan jikalau menuruti perintah Tuhanmu yang Maha Peduli pada dirimu saja kamu tak mau.

Malam... aku amat mencintai mereka karena 4WI. Bahagia rasanya membayangkan berkumpul kembali di surgaNya, bercengkrama dan bebas dari masalah dunia.... Tapi malam, bisikkan pada siapa pun yang tengah tertidur dalam lelapnya..... Jilbabku berkata, sebagian besar penghuni Neraka adalah wanita. Seram seram sekali.... mereka lah wanita yang tidak mau menutup aurat mereka, dan tidak bertobat karenanya.

Malam... aku bukan wanitayang sempurna. Keimananku masih jauh dari yang dihaapkan Rasulullah pada umatnya. Tapi.... aku tahu aku bisa berusaha, bersama jilbabku... bersama garansi yang menemani keseharianku memperbaiki diri. Bisikkan pada mereka, maukah mereka ikut bersamaku meniti jalan menuju surga 4WI?

Aku dan Warna Ungu




Aku dan Warna Ungu

Aku suka sekali dengan warna ungu
Mungkin teman-temanku sudah tidak asing dengan fenomena itu.
Ungu...... katanya sih janda
Tapi bagiku itu adalah lambang kesetiaan
Warna Lavender yang begitu menyejukkan dan elegant
Pesonanya adalah pesona keanggunan yang luar biasa...

Aku suka sekali dengan warna ungu

Rasa sukaku akan warna ungu
adalah rasa yang unik

Jika diibaratkan kehidupan
Maka warna ungu melambangkan kisah yang mungkin akan kualami

Aku sangat menyukai warna ungu
Begitu sederhana, tidak menyala, juga tidak terlalu pudar
Aku selalu menginginkan dan bahagia karena kehadirannya
Tapi tak pernah terpikir untuk memiliki...apalagi mengoleksi

Meskipun pada akhirnya warna lainlah yang akan mewarnai hidupku
Rasanya aku tidak akan pernah menyesal.... telah menyukai warna ungu....

Ketika Nasi menjadi Tabu

SELAMAT DATANG DI DESA KETAHANAN PANGAN, CIREUNDEU


Kira-kira begitulah yang tertera pada gardu tempat masuk ke RT 2 dan 3 desa Cireundeu. Bukan tanpa sebab gelar itu muncul di desa yang berada tepatnya di kelurahan Leuwigajah, Cimahi Selatan. Sejumlah orang, lembaga, maupun organisasi pemerintahan telah sering berkunjung ke kampung adat itu hanya untuk membuktikan keunikan para pemakan nasi non beras tersebut. Jika kita mengenal ungkapan "Orang Indonesia, kalau belum makan nasi, belum makan namanya", dengan asumsi yang dimaksud dengan nasi di sini adalah beras padi yang ditanak hingga menghasilkan nasi dengan aroma yang harum dan tekstur yang enak, maka ungkapan tersebut tidak berlaku di warga Cireundu khususnya RT 002 dan 003.

RASI. begitulah sebutan makanan pokok yang masih bertahan hingga sekarang semenjak tahun 1924 lalu. Rasi adalah Beras Singkong atau Nasi Singkong, yaitu nasi yang bahan dasarnya berasal dari ampas singkong atau biasa disebut Ongkok.

Abah Emen Sunarya, Sesepuh adat di desa Cirendeu, menuturkan kisah mengenai fakta Rasi tersebut. Berawal dari kisah yang terjadi pada tahun 1924-an. Ketika itu, di zaman penjajahan Belanda, lahan sawah yang telah ditanami padi tiba-tiba mongering dan puso. Sementara suplai beras dari pemerintah Belanda waktu itu sangatlah sulit. Di tengah masa yang teramat sulit itu, Haji Ali, tokoh masyarakat Cirendeu, warga kampung mulai mencari jalan keluarnya. Jalan keluarnya adalah dengan mengganti sawah menjadi kebun singkong. Sejak itulah warga Cirendeu membiasakan diri mengonsumsi singkong. Hal ini didahului dengan keluarnya wejangan dari Haji Ali, yang initinya minta masyarakat menunda mengonsumsi beras, dan beralih ke umbi-umbian. Rupanya wejangan itu tetap melekat pada warga masyarakat Cirendeu hingga saat ini. 

Pertanyaannya adalah, setelah sekian ratus tahun lamanya, kenapa bisa warga desa Cireundeu khususnya para pemangku adat, tetap memakan rasi dan tak pernah sekali pun menyentuh nasi padi? Apakah benar desa ketahanan pangan ini menganut prinsip ketahanan pangan yang sesungguhnya?

Ternyata yang menyebabkan rasi bertahan lama bukanlah pola pikir masyarakat desa mengenai ketahanan pangan, melainkan sebuah tradisi adat yang tidak bisa dilanggar. Ada sebuah tradisi yang menjadikan nasi atau beras padi menjadi tabu bahkan untuk disentuh sekali pun. Elis, salah satu masyarakat adat di sana mengatakan bahwa apabila ada seorang warga yang menyentuh beras padi atau bahkan mengkonsumsinya, maka harus dilakukan upacara tersendiri sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Kekuatan adat ini lah yang menyebabkan Rasi begitu populer dan membumi di tanah Cireundeu. Hingga saat ini, masih terapat sekitar kurang lebih lima puluh orang dari sejumla Rukun Tetangga yang ada, yang hingga saat ini masih mengkonsumsi Rasi dan tak pernah tahu sama sekali bagaimana rasanya Nasi.

Beberapa penduduk desa mengaku telah beralih menjadi pengkonsumsi nasi setelah sekian lama mengkonsumsi rasi. Dewi (25) mengakui bahwa semenjak SMA, ia tak pernah lagi mengonsumsi rasi karena jarang didapat di kota, bahkan hingga menikah dan memiliki anak. Akan tetapi, ketika ditanya bersedia atau tidak untuk kembali mengkonsumsi rasi apabila nasi sulit didapatkan ke depannya, beliau menjawab bersedia karena rasa dari rasi sudah akrab di lidah dan tidak ada masalah besar dalam mengkonsumsinya.

Nasi, bagi penduduk adat dianggap tabu. Walaupun dilatar belakangi oleh tradisi, tetapi Ketua RT 3 mengakui bahwa penduduk adat sangat mendukung upaya diversifikasi pangan oleh pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan negara ini. Pengetahuan beliau mengenai kebijakan impor beras dan pentingnya diversifikasi pangan meyakinkan orang-orang yang bertanya bahwa upaya menghidupkan Rasi merupakan salah satu kontribusi Cireundeu untuk ketahanan pangan Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika desa ini disebut sebagai Desa Ketahanan Pangan atau Kemandirian Pangan. Sudah bukan hal yang aneh lagi jika berbagai macam orang baik mahasiswa, dosen, peneliti, anggota DPR, bahkan menteri datang untuk memuaskan rasa penasaran mereka baik untuk kepentingan program maupun kepentingan sendiri akan desa ketahanan pangan tersebut.

Mengenal rasi, maka teknologi pangan berperan di sana. Bagi yang belum bisa membayangkan bentuknya, beginilah kira-kira rasi itu....


Rasanya mungkin tidak seenak nasi, warnanya tidak seputih nasi, aromanya pun tidak seharum nasi. Akan tetapi, jika mencicipinya, akan sangat mengerti mengapa rasi ini dapat menggantikan nasi. Rasa dan teksturnya memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan dengan nasi. Kelebihannya, proses pengolahannya lebih cepat, harganya jauh lebih ekonomis, memiliki sisi fungsional yang baik yang dikatakan salah satunya dapat mencegah penyakit diabetes melitus, serta lebih cepat terasa kenyang sehingga cukup baik untuk kesehatan.
Saya pikir, hanya butuh sedikit sentuhan teknologi pangan untuk membuat rasi ini sebagai beras analog atau beras tiruan dan dikonsumsi layaknya nasi oleh penduduk selain warga cireundeu.

Semoga kisah ini menginspirasi kita semua bahwa ternyata, di salah satu sudut pulau jawa yang notabenenya adalah pemakan nasi terbesar se Indonesia, masih ada sekumpulan orang yang bertahan hidup tanpa nasi.

HIDUP KETAHANAN PANGAN INDONESIA!!!!!

Bulan Perjuangan itu bernama.... MEI

Dua puluh satu kali aku berkenalan dengan yang namanya Mei itu. Dua puluh tahun ke belakang, aku mengenalnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang begitu spesial sehingga harus dikenal oleh Mei ku dulu. Tapi, di dua puluh satu kali pertemuanku dengannya, aku merasa bulan ini begitu istimewa sehingga aku pun  memutuskan bahwa apa pun yang terjadi..... aku tak ingin menikah di bulan ini.....

Entah sudah berapa banyak undangan yang masuk baik di fesbuk, via sms, maupun kartu, tapi rasa sesalku yang terbesar bahwa aku tak bisa menghadiri pernikahan kakak sepupuku, mantan bos, dan dua orang sahabat yang sangat luar biasa. Aihhh... tidak bisa dibayangkan rasanya jika kelak mereka tidak bisa menghadiri acaraku. Semoga doa-doaku sampai kepada mereka yang telah dan akan menikah di bulan ini.

Eits.... tapi topik kita kali ini adalah bukan tentang pernikahan looo....
Bagi seorang saya, bulan Mei di 2011 adalah bulan yang bersejarah. Bagi Indonesia, kita mengenal hari kebangkitan nasional yang jatuh pada 21 Mei, hari yang menghargai sebuah pergerakan yang diprakarsai oleh Bung Tomo, salah satu pahlawan pergerakan kita.
Kita juga mengenal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional, yang diambil dari hari lahir tokoh pendidikan kita K.H. Ahmad Dahlan.
Belum lagi peristiwa reformasi yang meninggalkan kenangan di tanggal 12 Mei, sebuah tragedi yang menimpa saudara perjuangan, aktivis pergerakan reformasi di universitas trisakti.

Belum lama ini, sebuah acara besar dalam rangka memperingati hari pendidikan pun digelar besar-besaran.... mengundang 2000 peserta dan media, acara IDEA yang diprakarsai oleh kementerian pendidikan BEM KM IPB berjalan begitu sukses. Acara itu berlangsung di tanggal 8 Mei 2011

Menyusul agenda IDEA, sebagai acara puncak, tanggal 21, sebagai hari kebangkitan nasional ditetapkan sebagai penghujung acara....

Melengkapi kesibukan, maka tanggal 20 - 23 Mei telah ditetapkan sebagai hari untuk temu nasional untuk beasiswa aktivis nusantara dari LPI-DD.

Lalu, bisakah saya bernapas lega di bulan Mei setelah tanggal 23? Hmm... memang cocok rasanya jika bulan ini dinamakan bulan perjuangan. Karena tepat pada tanggal 30 Mei nanti saya akan melaksanakan seminar penelitian.

Sibuk. sibuk. memang sibuk.
Lelah. lelah. memang lelah
Habis. habis. memang uang dan tenaga telah habis

Tapi saya sangat menikmatinya, karena inilah masa-masa yang benar2 menunjukkan peran dan kontribusi saya yang maksimal sebagai mahasiswa.

Bersyukur, karena masih diberikan kesempatan oleh ALLAH untuk bergerak dan berkarya.


Tapi konsekuensinya......
gak ada satu pun undangan pernikahan yang bisa saya hadiri..... hehe
Buat Mas Dudi, Tri Dimas Arjuna dan Istri, Mega Sarfika dan Mantan bos saya, Kulup Arridho .... Maaf ya tidak bisa menghadiri acara besar kalian. Tapi jangan balas dendam ya.... please.....  hehe


Hanya satu pesan saya untuk teman-teman yang membaca postingan ini. Ingatlah buat kalian yang akan menikah di usia muda...... bahwa di dunia ini ada yang namanya liburan akhir semester. ^^

Seniku untuk Kehidupan



Ketika malam membutuhkan teman untuk bermimpi
Akan kunyanyikan sebuah lagu pengusir sepi
Ketika matahari mulai enggan untuk tertawa
Kan kulukiskan sebuah senyuman agar ia kembali merona
Ketika senja tak kuasa untuk berlari
Aku akan mengajaknya menari bersama peri
Ketika fajar menghapus keramahannya
Sebuah dongeng dari negeri seberang akan kuceritakan untuknya

Jangan pernah takut
Ketika dunia ini menjadi hitam sepenuhnya
Karena puisi hati akan menghapusnya dengan putih
Jangan pernah sedih
Ketika roda harapan berhenti berputar
Karena goresan sketsa cita-cita akan tetap membuatnya melaju tanpa gentar

Kehidupan tak kan pernah cukup memberikan derita
Pada jiwa yang tak pernah mengerti fananya dunia
Kehidupan juga tak pernah bosan
Mengajarkan betapa kelamnya masa depan
Untuk insan yang enggan melangkah menjemput angan
Akan tetapi.....
Meski pun kehidupan juga tak pernah lelah memberikan air mata
Sebuah sentuhan kreatifitas dapat mengubahnya menjadi indah di rasa

Maka jangan pernah mundur menghadapi kenyataan
Karena tak ada harga mati
Untuk seni menghadapi ketidakpastian

Cerpen#3 : Onion Princess



“ICAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” raungan keras yang dapat memecah membran timfani di telinga kita seandainya frekuensinya diperbesar sedikit itu mengejutkan keseharian penghuni rumah itu. Gadis dengan jilbab putihnya menghela nafas panjang dan membuka pintu kamarnya. Nyanyian ”ICA”, suara tak bernada itu, semakin mempercepat langkahnya keluar kamar dan berjalan menaiki tangga satu persatu menuju sumber suara itu.
    “Ada apa kak?” gadis itu mendatangi sumber suara dan ia sepertinya menyesal karena tidak membawa tutup telinga yang semestinya.
    “DENGER YA!!!! HARI INI GW SAMA ARA MAU PARTY. KITA GAK MAU TAHU POKOKNYA LU GAK BOLEH ADA DI SINI” Bukan. Gadis itu bukan Cinderella.
    “JANGAN LUPA! CUCIAN GW DI  LAUNDRY AMBIL PAGI INI JUGA. MAU GW PAKE”. Gadis itu juga bukan upik abu apalagi bawang putih karena si pemilik suara bukan bawang merah ataupun bawang bombay. Gadis itu hanya mengangguk tanpa komentar.
    “INGET! 3 HARI!!! LO GAK BOLEH DI RUMAH SELAMA 3 HARI” sekali lagi gadis itu mengangguk. Merasa sudah beres intruksinya, ia melangkah meninggalkan si sumber suara.
    “ICAAAA!!!! SIAPA YANG SURUH LO PERGI??” sebuah suara yang serupa tapi tak sama memanggilnya. Ya, nama gadis itu adalah Ica, lengkapnya Aisyah Ramadhani. Gadis itu adalah aku yang semakin tak mengerti apa mau kedua orang ini. Gadis yang sedari tadi diam dan hanya mengangguk mendengarkan intruksi itu adalah aku. Bukan upik abu, bukan cinderella, bukan bawang putih, bawang bombay atau semacam itu. Kedua suara itu adalah milik kakak kembarku, Ara dan Aya. Yah, memang sih, sekilas mereka memang terlihat seperti bawang merah yang sangat tidak tahu aturan.
    “JANGAN LUPA. CUCI MOBIL GW!!!!” atau bahkan mereka benar-benar bawang merah. Yah, terserahlah. Anggap saja aku sebagai bawang putih dengan dua bawang merah yang lebih pedas dibanding kedua saudara Cinderella dan terkadang memperlakukanku lebih buruk daripada Upik Abu.
    “TERUS, GW GAK MAU DI RUMAH INI ADA DEBU SEDIKIT AJA. BISA MALU GW SAMA TEMEN2 GW!!!!” Tanpa kujelaskan pun memang kelihatannya seperti itu. Sebuah persepsi awam.
    “KALO NYOKAP SAMA BOKAP GW PULANG, JANGAN BILANG APA-APA!” bedanya, aku bukan saudara tiri mereka. Sama sekali bukan.
    “AWAS KALO LO LAPOR YANG MACEM-MACEM!!!” aku juga bukan korban sister abuse.
    “DAH SANA PERGI!!!” tapi aku benar-benar penghuni rumah dua lantai ini dan dikenal sebagai saudara kedua bawang merah ini.
    Kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Masih jam enam pagi. Aku pun menjalankan intruksi pertama sang bawang merah. Kakiku berjalan keluar dari rumah menuju laundry and dry cleaning yang hanya beberapa blok dari rumah ini. Ya, sekilas aku memang terlihat seperti upik abu yang tak lepas dari kerjaan ini dan kerjaan itu, tugas begini dan tugas begitu. Tapi sekali lagi kutegaskan, saudara-saudaraku boleh disebut sebagai bawang merah. Tapi aku tidak setuju kalau mereka itu disebut bawang merah yang kejam. Karena aku pun bukan bawang putih yang malang, cinderella yang memprihatinkan, ataupun upik abu yang sial. Aku adalah Ica, Aisyah Ramadhani yang sampai hari ini menganggap para bawang merah itu adalah saudaraku. Mungkin.
    Jam enam pagi. Laundry memang sudah buka. Pemiliknya amat ramah dan menyenangkan.
    “Ambil baju lagi neng?” sapa wanita setengah baya yang kira-kira seumur dengan tukang kantin di sekolahku itu.
    “Iya...bajunya kak Aya. Nih bonnya..” kataku berusaha sesopan mungkin. Bibi itu tersenyum dan langsung mengambilkan sebuah gaun hitam yang terbungkus plastik dengan sangat rapi.
    “Makasih ya Bi” kataku sambil tersenyum.
    “E,iya, neng Ica. Kemaren ada yang nyariin tuh” kata si bibi menghentikan langkahku.
    “Oh ya? Siapa?” tanyaku heran. Setahuku, teman-teman sekolahku tidak ada yang tahu alamat rumahku dan mereka memang tidak perlu tahu.
    “Cowok. kayaknya seumuran neng deh. Eh nggak lebih tua sedikit. Lumayan cakep lho neng” kata si bibi membuatku bingung. Kucoba ingat-ingat. Hmm, terlalu banyak yang penting-penting, jadi lupa. Aku berpikir dan terus berpikir...duh..jangan lama-lama..nanti kak Aya marah-marah lagi. Kasihan kan.....bisa cepat tua.
    “Yaudah..dipikirinnya ntar aja neng. Gih pulang sana...ntar neng Aya nungguin trus neng diomelin lagi” kata si Bibi seakan bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum pada si bibi. Memang kisah bawang merah dan bawang putih di rumahku bukan rahasia umum lagi. Aku menuruti kata-kata si bibi dan pergi ke rumah.
    Suatu hal yang menguntungkan karena gaun kak Aya sampai ke tangannya dengan sempurna dan tanpa cacat. Biasanya, lecek sedikit saja dia akan menyanyikan lagu “Ica” yang tak bernada itu sekali lagi. Aku pun menjalankan intruksi kedua, bersih-bersih dan semua itu kukerjakan sampai pukul tujuh. Cepat bukan? Sudah biasa. Di luar, mobil kak Ara tampaknya tidak terlalu kotor sehingga aku bisa menyelesaikan semua intruksi hingga pukul delapan pagi.
“Kak, aku duluan. Assalamualaikum....” kataku sudah lengkap dengan sepatu, tas dan seragam sekolah dan tak lupa, perlengkapan menginap selama 3 hari. Untungnya, pagi ini dua jam pelajaran pertama adalah olahraga. Aku sudah cukup berkeringat oleh intruksi kakak kembarku sehingga tak perlu menyesal ketinggalan jam pelajaran olahraga. Mmm…mungkin 10 menit pertama pelajaran Fisika akan terlewat dan itu sangat tidak menyenangkan. 10 menit terlalu berharga untuk dilewatkan, apalagi pada salah satu mata pelajaran yang .mungkin kusuka tapi tak terlalu kubisa. Bagaimana pun, ketinggalan pelajaran Fisika adalah malapetaka karena sekali ketinggalan aku akan terus ketinggalan. Makanya kuputuskan menggunakan jasa ojek dan sampai sekolah tepat pukul 08.15.
    “Aisyah, sudah beberapa kali ibu bilang……”
    “Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Saya tahu bu” kataku menyela kata-kata Bu Rini tak lupa dengan senyum yang sudah kuset sedemikian rupa agar ia tidak marah secara berlebihan.
    “Terus…??” lanjutnya memojokkanku seraya mencoba mengorek-ngorek alasan kenapa aku terlambat.
    “Kerjaan saya menumpuk Bu. Saya tak perlu menyebutkan satu-satu kan bu? Dari mulai mengerjakan hal yang penting sampai yang tidak penting. Penting gak penting sih tetap harus dikerjain karena kalau nggak bisa berabe. Jadi, saya telat deh” kataku mulai memberi alasan.
“Hukuman saya setelah pelajaran Fisika saja ya bu. Nanti saya ketinggalan pelajaran pak Sugi. Bisa gawat. Kalau hanya remedial sih tidak apa. Tapi kalau sampau angka merah bereret di rapor kan gak enak. Ibu tahu sendiri kan, pak Sugi paling tidak suka kalau ada anaknya yang remedial” lanjutku sempat memotong ketika bu Rini berniat membuka mulut.
 “Belum lagi harus mereview pelejaran-pelajaran kemarin berhubung sudah kelas tiga kan bu. Terus….”
    “Iya..iya..cukup. Masuk sana. Jam istirahat nanti ambil hukuman kamu di meja piket” kata bu Rini seakan pusing mendengar celotehku yang sengaja kubuat panjang lebar. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada beliau. Pak Sugi eh maksudku Fisika...I’m Coming!

    “Assalamualaikum. Misi Pak……” kataku begitu sampai pintu kelas. Sorakan anak-anak sudah tak asing lagi pagi itu.
    “Kamu terlambat 15 menit pelajaran saya. Tak boleh masuk!!” kata pak Sugi  memerintah sebelum kulangkahkan kakiku ke dalam. Lima belas menit?? Bukan sepuluh??? Oh tidaaaak. Perkiraanku salah….
    “Tapi Pak????” kataku memaksa.
    “KE PERPUSTAKAAN! Saya tidak mau menerima murid yang terlambat.” Perintah pak Sugi lagi. Oh..No. sejak kapan guru yang kuharap guru kesayanganku itu jadi sangat kejam (sebelumnya hanya kejam saja).
    “Pak…saya capek-capek ke sekolah kan mau belajar” kataku memelas.
    “Banyak yang bisa kamu dapatkan di perpustakaan. Silahkan” katanya sekali lagi. Aku menghela nafas kecewa. Huh….pengorbananku naik ojek ternyata sia-sia. Kupandang teman-temanku dan ternyata mereka diam. Pak Sugi lagi sensi. Kira-kira begitulah yang ingin disampaikan Nora, teman sebangkuku dan beberapa anak lainnya lewat tatapan mata mereka. Aku pun mengerti.
    “Ya sudah pak. Terima kasih” kataku. Aku berbalik dan segera menuju perpusatakaan, atau mungkin guru piket. Masih ada hukuman yang bekum terlaksana dari bu Rini. Tidak berat, hanya menulis Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Kata-kata yang sampai sekarang tak pernah bisa kumengerti. Lebih buruk mana dengan teriakan aneh dari kakak-kakakku kalau aku meninggalkan pekerjaan rumah barang sehari saja? Tidak ada yang lebih buruk, keduanya masih satu spesies.
Aku langsung ke perpustakaan begitu menerima tugas dari Bu Rini.
“Eh..Ica. Terlambat ya??” sapa penjaga perpus melihatku masuk masih mengenakan ransel hijauku yang sudah banyak termodifikasi oleh tempelan pin-pin yang kusuka. Aku meletakkannya dan langsung mengincar koran yang terletak di dekat pintu masuk.
“Iya nih pak. Mana gak boleh masuk lagi” Jawabku sambil mencari-cari Koran kompas hari ini.
“Sabar neng. Belajar di sini juga gak rugi-rugi amat kok” kata pak Salim, nama penjaga perpus itu sambil memeriksa absensi perpus.
    “Yah…semoga saja. Coba kita lihat. Berita apa pagi ini” kataku duduk pada salah satu kursi di perpustakaan itu.
    “Absen dulu neng…”kata pak Salim menyodorkan absensi perpustakaan padaku. Aku mengambilnya. Aisyah Ramadhani….xii ipa 3….diharapkan dapat belajar di perpus. Begitulah kira-kira yang kuiisi.
    “Waah, akhirnya Madrid menang juga..”gumamku kecil setelah selesai urusan dengan absen.
    “Neng ke sini cuma buat baca Koran?” Tanya pak Salim heran. Aku dengan cueknya mengangguk.
    “Bukannya benda pertama yang saya cari di perpustakaan itu koran?” tanyaku meyakinkan pak Salim bahwa aku benar-benar Ica, si bocah koran.
    “Memang gak ada tugas karena telat?” Tanya pak Salim.
    “Innalillahi..” aku tersadar, masih ada yang lebih penting dibanding melihat berita pagi hari ini. Oh…aku berharap ini yang terakhir aku menulis kata-kata konyol yang tak kumengerti itu.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Aku harus mengulangi serangkaian kalimat itu sebanyak menit aku terlambat, dengan kata lain, aku harus menulisnya sebanyak Sembilan puluh lima kali, dan percayalah, ini sangat membosankan.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Hoaaaaaaaaammmm…… melelahkan, membosankan, ngantuuk.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Tanganku mulai lemas. Aku baru ingat kalau tadi malam aku baru tidur jam dua.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Mataku mengatup dan membuka tanpa perintah. Aku juga baru ingat, kalau aku belum memutuskan akan tidur di mana malam ini.
    Terlambat adalah awal dari malapetaka kedisiplinan. Ahh….tiba-tiba saja aku tak ingat apa-apa, semuanya gelap.

    Aku memimpikannya lagi, hal yang sangat ingin aku lupakan. Wajah-wajah kecil dengan sayap malaikat, dan seorang pangeran di antara mereka. Dengan lembutnya, ia memanggil namaku. ”Ica”…aku berlari ke arah mereka. Panggilan lembut itu terulang kembali…
    “Ica…”
    “ICAAAAAAAAAAAAAAAAAA” suara yang lembut itu mendadak pecah, aku pun tersadar dari tidurku.
    “Nora….” Kataku setelah tahu siapa suara yang ber’Ica’ pecah itu.
    “Gila lo…..tidur di perpus. Di UKS tuh enak” kata Nora duduk di hadapanku, aku pun langsung sadar bahwa sekarang sudah masuk jam istirahat pertama.
    “Sholat Dhuha yuk….” Kata Nora.
    “Gw lagi gak sholat Ra. Gw di sini aja deh, ada tugas gara-gara terlambat” kataku memperlihatkan satu kalimat membosankan yang kutulis ulang baru sebanyak tiga puluh kalimat itu.
    “Yaudah…gw duluan ya…”kata Nora. Aku tersenyum mempersilahkan..
    “Eh Ra….” Kataku menghentikan langkahnya. Aku berpikir untuk menginap di rumah Nora lagi malam ini, tapi,
    “Gak jadi deh….” kataku membatalkan. Aku terlalu sering merepotkan sahabatku itu, bulan ini saja, sudah lima kali aku menginap di rumahnya gara-gara kakakku.
    “Dasar aneh. Yaudahlah. Gw sholat dulu deh. Mmmm, oh iya, hari ini pak Anton, bu Cece dan pak Kurdi gak masuk. Jadi habis istirahat ini kita gak ada pelajaran lagi” kata Nora.
    “Apa?? Oh….No!! kita kan udah kelas 3 Ra. Masa masih ada jam kosong sih” kataku seakan-akan peduli dengan sebuah idealisme bahwa mendekati ujian akhir harus serius belajar, padahal ada sedikit tawa yang hampir pecah.
    “Iya..sebagai gantinya, habis istirahat akan ada Try Out dadakan” kata Nora enteng.
    “APA???!!” suara ‘Apa’ ku lebih tegas dari sebelumnya. Memikirkan bahwa masih ada Sembilan puluh kata Terlambat adalah malapetaka bagi kedisiplinan yang belum kukerjakan saja membuatku sesak napas.
    “Makanya kalo lo ke kantin, gak bakalan nemu anak-anak. Lagi pada belajar semua, yah…kecuali yang udah gak perlu belajar kayak Galih, Ratna…’
    “Elo…” kataku seraya melanjutkan kata-kata sahabatku yang sudah sangat expert di bidang Matematika dan Bahasa itu. Dia hanya tertawa kecil. Ternyata banyak sekali yang harus dikerjakan  dan aku sama sekali belum memutuskan akan menginap di mana malam ini.

    “AAAAh….soal apa ini? gak yakin gw kita bakal dapat soal segila ini. Apa yang akan terjadi pada anak pedalaman Papua kalau standar Indonesia soalnya setinggi ini? Oh tidak..Mama..Papa..aku mohon, maafkan jika nanti aku mengecewakan kalian” suara Leo memecah keheningan kelas sesaat setelah kertas dibacakan.
    “Menjelang ujian, semua menggila…” kata Nora menggumam. Aku terpaku pada 30 soal Matematika di hadapanku yang tiba-tiba mengingatkanku kepada masa depan yang telah aku pikirkan jauh sebelum aku mengenal dunia putih abu-abu. Arsitek. Sebuah profesi yang membutuhkan kemampuan daya nalar Matematis yang tinggi. Kalau soal seperti ini saja tidak bisa kuselesaikan, bagaimana bisa kugapai kampus di kota kuliner yang terkenal dengan dunia desain grafis dan keteknikannya itu  Ah, ternyata sembilan puluh kalimat yang harus kutulis dari Bu Rini memberi efek samping yang buruk. Tiba-tiba saja aku merasa berhadapan dengan lembah yang dalam bernama Ujian.

    “Hai, Putri Bawang” seseorang berbicara padaku di perjalananku lima langkah keluar dari pintu gerbang sekolah.
    “Hans? Ngapain lo di sini?” tanyaku pada sesosok pemuda tanpa seragam yang tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Tiba-tiba saja aku teringat mimpiku tadi tentang malaikat dan pangeran. Hans adalah orang yang pernah bertemu denganku di suatu perkumpulan anak jalanan. Sebuah tempat yang telah mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan. Ah, baiklah, aku mengaku. Dialah lebih tepatnya yang menemukanku, setahun yang lalu, saat kedua kakakku memulai hobi mengusirku karena pesta.
    “Elo sih. Ngilang gitu aja. Anak-anak udah suka banget tuh sama lo. Gw sampe harus nyelidikin lo sampe ke rumah lo segala buat tau keberadaan lo. Gw sampe nanya segala sama tante laundry” ucapnya.
    “Oh..jadi itu asal-usul julukan baru lo buat gw?” tanyaku sambil berjalan menghindarinya. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Mana mungkin aku bisa melupakan wajah-wajah kecil itu. Yang memanggilku “kakak” dengan polosnya Memang sih, terkadang mereka bau, dekil, belum mandi. Tapi setahun yang lalu, bermain bersama mereka adalah hal yang menyenangkan. Sampai ketika itu aku menyadari bahwa aku tak bisa terus bersama mereka.
    “Ca.,..ye, tungguin. Gw belum beres ngomong” katanya berhasil menghadangku kembali.
    “Hans, gw kan udah bilang. Gw gak bisa balik ke tempat itu lagi” kataku menghindar.
    “Please  Ca….” katanya menghadang lagi.
    “Hans, lo pernah kan ngerasain jadi kelas 3 SMA. Gw harus serius belajar. Gw gak bisa main-main terus” kataku menegaskan.
    “Berarti habis ujian bisa kan Ca?” tanya Hans lagi. Aku kembali menggeleng.
    “Lo pikir gw bisa tahan, main panas-panasan, jadi dekil, bau…” kataku yang pada akhirnya harus mengeluarkan kata-kata pedas.
    “Ck ck…Bohong. Lo sebenarnya cuma lari kan? Lo gak bisa terus menerus ketemu dengan mereka karena lo seperti melihat diri lo sendiri di sana” kata Hans yang sukses membuat langkahku terhenti.
    “Lo bukan seorang anak dari pengusaha garmen terkemuka di Jakarta. Lo itu cuma Ica. Status sosial lo emang anak, tapi status lo yang sebenarnya adalah yatim piatu. Lo sesungguhnya sendirian di dunia ini. Sama seperti mereka. Bedanya hanya, lo punya rumah yang layak, dan mereka tidak” kata Hans masih belum menyerah. Kalau saja aku boleh menyentuhnya maka akan kutampar saat ini juga. Meskipun kesal, tapi seluruh kata-katanya adalah benar.
    “Kenapa? Kesal? Kalau semua itu gak bener, kenapa lo harus ngalah sama kedua kakak angkat lo? Kenapa lo harus  berkali-kali keluar dari rumah? Apa bedanya lo sama anak jalanan? Paling nggak mereka gak nyusahin rumah orang lain untuk lo inepin kan?” katanya dan sekali lagi benar karena rumah Nora sekali lagi terbayang olehku. Benar-benar sialan anak ini.
    “Dan lo pergi dari kita semua hanya karena mereka membuat lo menyadari status lo sebenarnya…”
    “CUKUP!!” kataku bernada tinggi. Aku merasa kelopak mataku basah. Aku benar-benar kesal. Tapi tiba-tiba saja pemuda itu berlutut di depanku.
    “Hans?” tanyaku.
    “Riri sudah lama demam tinggi. Gw udah mau bawa dia ke dokter, tapi dia gak mau. Dia bilang dia kangen sama lo. Jody mulai kehilangan semangat belajarnya, dia kembali menghabiskan hari-harinya dengan mengamen di lampu merah, non-stop. Lo tau Ca? Gw cuma bisa membuat mereka tertawa dan bersemangat menjalani hari. Tapi cuma elo, yang bisa mengajarkan mereka caranya bermimpi” Kata Hans melembutkan suaranya dan berdiri kembali. Hans sebenarnya bukan anak jalanan seperti adik-adik yang diasuhnya. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tingkat 2 yang sangat hobi berkeliaran di jalan. Hidup bersosialisasi sudah menjadi bagian dari kesehariannya. 
    “Hari ini kita ngumpul di tempat biasa. Gw berharap bisa bujuk Riri ke dokter hari ini. Kalo lo gak ada kegiatan, gw mohon lo datang” katanya lalu pergi meninggalkanku dengan tas besarku. Aku masih terpaku di ujung jalan melihat sosok pemuda yang dua tahun lebih tua dariku itu. Perasaan kesalku berubah menjadi sesal dan kurasa siapapun bisa menebaknya, bahwa kakiku berjalan sesuai dengan apa yang kata hatiku perintahkan.

    “Kak Hans, sudah ketemu kak Ica?” sosok mungil itu bertanya dengan nada lemah di kursi yang terbuat dari jok mobil bekas yang sudah tidak terpakai dan berselimutkan kain dengan banyak tambalan.
    “Riri, daripada itu, kita ke dokter aja yuk. Biar diobatin sama dokter” kata Hans membujuk. Anak itu menggeleng.
    “Kak Ica pernah bilang, kalau Riri ini anak yang kuat. Makanya, kalau sudah besar, Riri ingin sekali jadi atlet wanita, atau jadi pendekar silat biar gak digangguin sama orang jahat. Masa jagoan kayak gitu ke dokter kak? Gak cocok” kata Riri mencoba menjelaskan.
    “Gadis kecil bodoh. Atlet hebat, kalau sakit gigi juga pergi ke dokter gigi kan….” Kataku masuk tiba-tiba menghampiri tubuh kecil yang terbaring itu.
    “Kak Ica…..” gadis kecil itu secara spontan memelukku saat aku mendekat, begitu juga dengan yang lainnya. Hans hanya tersenyum penuh makna melihatku berada di dalam markas itu. Aku benar-benar bodoh karena berusaha menyingkirkan mereka dari kehidupanku. Padahal aku pernah merasakannya, masa-masa di mana aku tak tahu siapa diriku. Sampai keluarga Yulianto menemukanku yang begitu mirip dengan anak perempuan mereka yang baru saja meninggal ketika itu. Mereka yang menyadarkanku dan mengajariku bermimpi, memiliki cita-cita, dan mengajariku arti kehidupanku yang sesungguhnya. Membuatku melupakan dari mana diriku berasal. Tidak hanya keluarga, tapi aku pun juga merasakan rasanya memiliki seorang sahabat. Nora bagiku adalah harta yang tiada duanya. Lalu kemudian aku bertemu mereka semua. Semula aku senang, tapi lama kelamaan aku mulai mengingat  kembali apa yang sudah lama ingin aku lupakan, fakta yang menyebutkan bahwa sebenarnya aku ini bukan siapa-siapa.
    Hari ini pun berlalu. Dan aku masih belum tahu akan menginap di mana malam ini.
    “Kak Ica, gak pulang? Nanti dicariin sama keluarga kakak.” kata Jody, anak berambut hitam dan berkulit gelap namun sangat manis dan bercita-cita menjadi pilot. Aku tersenyum kecil.
    “Kalian kan juga keluargaku” kataku.
    “Memangnya kakak gak punya ayah dan ibu juga?”Tanya Doni, anak lelaki kurus dan bermuka bulat yang bercita-cita menjadi tentara. Pertanyaan itu, pagi tadi mungkin akan kujawab dengan gelengan kepala. Tapi hari ini…
    “Ayo pulang. Gw antar” kata Hans tiba-tiba saja sudah memegang tasku.
    “Tapi…” kataku tak tahu apa.
    “Kalian istirahat ya, besok kita belajar lagi. Salam buat tante Romi. Assalamualaikum. Yuk Ca” kata Hans pergi duluan.
    “Hhh…mau gimana lagi. Aku pergi dulu ya….daaaah. Assalamualaikum..” kataku pada malaikat-malaikat kecil itu. Aku pun lekas mengejar Hans.
    “Hei…..lo gila kalo mikir gw mau nginep di rumah lo” kataku penuh dengan kecurigaan. Hans tersenyum kecil.
    “Emang lo punya pilihan lain? Yaudah, mau nginep di hotel aja?” Katanya sambil mengerdipkan mata.
    “Gila!!! Sini tas gw!!”  kataku marah.
    “Eh…Gw becanda tau. Gini-gini gw juga aktif di acara-acara masjid kampus. hehe” katanya menyeringai.
    “Terus, apa maksud lo bawa-bawa tas gw seakan tau gw mau ke mana?” tanyaku dan Hans kembali tertawa.
    “Ya ke rumah lo lah. Gimana juga rumah keluarga Yulianto kan rumah lo juga” katanya santai dan membuat marah ku berubah menjadi bingung.
    “Tapi…..”  kataku mencoba menyangkal.
    “Dulu, waktu gw seumuran sama lo, gw ketemu sama teman-teman SD gw di suatu acara reunian” katanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam mengikuti langkah kakinya.
    “Di saat gw menikmati masa-masa SMA gw dengan prestasi yang gemilang, gw ketemu  mereka. Beberapa ada yang putus sekolah, yang cewek ada yang Married by Accident trus ditinggalin suaminya gitu aja. Miras yang merupakan hal tabu buat sekolah gw menjadi hal yang biasa buat mereka. Bahkan ada beberapa yang gak datang ke acara tersebut yang gw baru tahu bahwa mereka putus sekolah, dan sempet nge-drugs” katanya mulai bercerita.
    “Lo tau apa yang paling menyedihkan? Adalah ketika gw tidak melihat adanya masa depan di depan teman-teman gw yang pernah main bareng sama gw. Gw merasa bersalah. Dulu keluarga gw miskin, sama kayak mereka. Bagi orang kelas menengah ke bawah seperti kami, hanya bermimpi lah satu-satunya cara untuk memiliki masa depan. Dan kesalahan terbesar gw adalah, gw gak pernah mengajak mereka bermimpi bersama. Gw sibuk dengan impian gw sendiri” katanya.
    “Makanya lo sekarang ini jadi aktivis sosial spesialis anak-anak jalanan?” tanyaku kemudian. Hans kembali tersenyum.
    “Ya, makanya juga, gw bahagia waktu lo datang, dan lo mengajarkan mereka tentang cita-cita. Seketika mereka langsung bersemangat” lanjutnya.
    “Tapi, gw takut yang gw berikan ke mereka itu cuma impian kosong” kataku.
    “Menurut lo, apa yang terjadi saat lo nembak bulan?” Tanya Hans lagi. Aku melihat langit yang saat itu memang sudah gelap, dan aku menggeleng.
    “Kalau pun meleset, paling nggak, lo akan mendapatkan bintang. Itulah yang akan terjadi pada anak-anak itu” kata Hans. Aku tersenyum.
Tahun ini mungkin menjadi masa-masa terakhirku sebagai seorang remaja SMA. Tetapi, aku bersyukur karena di saat-saat terakhir, banyak hal berharga yang kudapatkan.
    “Sampai..” kata Hans begitu kami sampai di depan rumahku.
    “Thanks Hans….gw masuk ya” kataku. Hans pun tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Meski berbeda dua tahun, tapi aku tak pernah merasa Hans adalah seorang mahasiswa. Ia sangat pandai menempatkan dirinya untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Tapi hari ini, aku merasa bahwa dia jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Ah..aku pun harus tumbuh dewasa dan segera melepaskan seragam putih abu-abu ini bukan?
    Tok Tok Tok. Seseorang membuka pintu. Seorang pria yang tengah memegang sekaleng birdy coffee tercengang melihat kedatangan gadis dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel besar.
    “Hai, perkenalkan. Saya Aisyah, adik dari kak Aya dan Kak Ara. Boleh masuk?” kataku polos dan seketika itu juga aku mendengar nyanyian merdu kedua kakakku lagi.
    “ICAAAAAAAAAAAAAAA!” Putri Bawang telah kembali ke rumahnya.

Just Dreaming


Bertemu kalian dalam sebuah dunia yang mengajarkanku arti keikhlasan
Berjuang bersama kalian di sebuah masa yang memperlihatkanku betapa indahnya air mata
Berlari tapi tetap berpegang erat, berpisah tapi selalu teringat….

Kini tangan ini ingin menggapai masa-masa itu lagi…
Aih, tidak sampai…tak ada pula satu pun uluran tangan
Rindu ini benar2 ingin terbagi…..hingga sabar dalam penantian pun tak apa
Ah…..ternyata, hanya satu tanganku yang bertepuk
Sudah berangan akan berkumpul lagi
Bercerita tentang kisah
Bertukar kata tentang petualangan
Tapi….rasanya tak akan pernah ada ya..

Mungkin selama ini aku hanya bermimpi
Mimpi yang membuatku enggan untuk membuka mata
Dan ketika nyataku tiba
Kehilangan itu amat terasa
Hingga seluruh kapiler merasakan sakitnya

Ya…..tidak pernah  ada
Aku dan orang-orang yang di dalam mimpi tersenyum bersamaku
Mereka ada di dunia berbeda

Padahal hanya satu yang kupinta
Meski hanya sekali dalam hidupku
Sebuah persaudaraan yang benar2 indah……..sangat indah hingga semakin besar rinduku pada surga.

Cerpen#2 : Buku Merah jambu untuk Sebuah kisah


Gadis manis yang tinggi itu kini tengah berjalan di antara kawan-kawan sepermainannya. Ya, baru satu semester ini mereka dipertemukan di bangku sekolah bernama SMA. SMA kelas satu, menurut kabar adalah masa-masa ketika kita baru bertemu dengan sahabat seperjuangan. Dan konon katanya, karena terlalu sering terlihat bersama, Sakinah dan ketiga kawannya lebih akrab dengan sebutan  Four Fairy.  Bagus bukan? Ah..terlalu bagus untuk keempat remaja yang terlalu banyak berbicara itu.
            “Eh…kalian semua tahu gak….empat fenomena cewek masa kini….” Kata salah satu teman yang berjilbab biru dan kini sedang memegang majalah Annida edisi terbaru. Kata-kata…apa kalian semua tahu…sudah merupakan daya tarik tersendiri bagi seorang wanita untuk langsung menjawabnya dengan mengajukan satu pertanyaan lagi….Apa?Apa? (tentunya dengan antusias tingkat tinggi).
            “Yang pertama…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka dan lebih banyak makan….iya gak?” kata gadis tersebut melirik temannya yang berjilbab ungu sedang asik melahap satu roti sobek ukuran besar. Spontan kedua temannya tertawa karena temannya yang satu ini makan seakan-akan dia lupa bahwa mereka berada di tempat orang banyak. Taman Sukahati, itulah nama Best camp  mereka di hari minggu.
            “Yang kedua…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka jalan-jalan daripada diam di rumah. Jalam-jalannya pun macam-macam, ada yang ke mall, ke toko buku, atau pun hanya sekedar jalan-jalan keliling rumah. Yang penting jalan-jalan. Iya gak…?” kali ini gadis tersebut melirik pada kawan yang duduk di sebelahnya persis dan sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Ah…sebenarnya sedang sibuk menukar tali yang tadinya merah jadi biru. Ia hanya tersenyum kecil memperlihatkan adanya kebenaran.
            “Yang ketiga…fenomena bahwa cewek sekarang jauh lebih suka main bola, dari mulai bola basket, bola sepak, bola takraw sampe bola bekel. Intinya…lebih sporty lah…tul gak?” tanyanya kini beralih pada Sakinah. Ia hanya tersenyum…
            “dan fenomena keempat ialah….” Lanjut gadis itu sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
            “Oh NO…….” seru spontan dari si pemakan roti sobek.
            “Jangan lagi-lagi….” Disambung oleh si tukang jalan-jalan.
            “lo mau bilang kalo fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih suka curhat di buku diary warna pink yang hyper norak itu daripada nulis agenda harian di buku yang formal?? Dan please Na….lo jangan nyuruh gw untuk baca ataupun nulis sesuatu di buku itu. Ieeek…” komentar Sakinah, si pembenci warna pink, menunjukkan ke-lebay-annya. Nabila, begitulah nama gadis yang sedari tadi disibukkan oleh empat fenomena cewek masa kini, tersenyum penuh arti.
            “Sebenarnya gw tadi mau bilang bahwa fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih kinclong daripada cewek dulu. Ya iyalah…kita kan masih pada muda, kalau mereka sudah pada tua. Ha ha….” Kata Nabila mencoba memberi humor yang klasik tapi ketiga temannya tidak tertawa. Nabila yang tadinya sangat bersemangat memandang ketiga sahabatnya dengan penuh harap.
            “Ayolah guys….gw kan sedang berusaha membuka hati-hati kalian. Seorang cewek itu selalu identik dengan curahan hati. Coba aja liat situsnya My Qur’an, banyak cewek kan yang mampir ke thread ‘Curhatmu’..?” kata Nabila. Tapi ketiga temannya yang konon katanya sangat anti warna pink dan amat sangat tertutup terhadap orang itu hanya saling pandang dan tak banyak memberi komentar.
            Jikalau ditanya siapa di antara mereka yang paling tahu isi hati sesamanya…pasti Nabila jawabannya. Nabila lah yang paling sering menemani Mala makan di kantin sementara yang lainnya sibuk dengan program diet mereka. Nabila juga yang paling sering menemani Tika jalan-jalan di saat yang lain sedang malas untuk keluar. Nabila juga yang paling sering menemani Sakinah berpanas-panasan di lapangan meskipun ia tidak ikutan sibuk dengan bola-bola yang menggelinding di Sport Center alias GOR. Tapi sayangnya….hobi Nabila adalah hobi yang paling tidak diminati oleh ketiga temannya. Sudah sering ia memaksakan kepada teman-temannya untuk menyukai hobinya itu, mendengarkan dan menceritakan curahan hati, tapi semakin ke depan semakin menyulitkan.
            Sebenarnya ketiga temannya bukannya tidak mau meluangkan waktu untuk saling membuka hati mereka, mereka hanya belum bisa merasa nyaman untuk membuka perasaan mereka. Yah…wajar saja, ketiganya memiliki karakteristik yang sama akan hal ini. Mala misalnya, perlu waktu yang amat sangat lama untuk membuatnya memberitahu bahwa ia memiliki 7 orang saudara dan dua di antaranya kembar. Ia berpikir memiliki banyak saudara di zaman sekarang ini merepotkan, padahal menurut ketiga temannya yang paling banyak hanya punya dua saudara itu, memiliki banyak saudara bisa menjadi warna yang menyenangkan dala kehidupan ini.
            “Yaudah deh….beneran nih gak mau ngisi? Yaudah gak apa…” kata Nabila sedikit putus asa dan sikap inilah yang selalu membuatnya sukses menghadapi ketiga temannya, sikap yang memunculkan rasa iba.
            “Iya deh….tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya…cuma kita berempat yang tahu…” kata Tika mulai bercerita dan Nabila seketika sumringah. Tak jadi dimasukkannya buku itu dan ia mulai menulis secara detail apa-apa yang diceritakan satu per satu tanpa ada yang tertinggal.
           
Beberapa bulan kemudian, di tempat yang sama, Mala menghampiri dengan tergesa-gesa kedua temannya yang sudah hadir lebih dulu darinya.
            “Lo telat Mal…ah, lebih tepatnya…kita semua terlambat” kata Sakinah memegang sebuah buku pink dan satu surat dengan warna yang serupa.
            “Ja…jadi benar?” Tanya Mala meyakinkan.
            “Ternyata bukan cuma gw yang berpikir begitu. Gw kira juga teman kita yang satu itu cuma bercanda” kata Nabila menatap buku pink yang sepertinya hanya ada satu di dunia itu
            Mereka bertiga kini disibukkan dengan keheningan. Seakan baru saja melakukan satu kesalahan yang besar, mereka terbisu oleh kekhilafan yang tak pernah mereka sadari selama ini.
            “Dia bahkan tak pernah melewatkan satu kata pun dari apa yang kita ucapkan” ucap Sakinah memecah keheningan. Ia mulai membuka buku pink itu satu per satu tanpa rasa jijik seperti biasanya dan tanpa ia sadari satu per satu air matanya menetes.
            “Ingat tidak waktu pertama kali kita bertemu dengannya di pengajian? Kita bertiga, makhluk yang paling tidak cocok sedunia seakan-akan disatukan oleh tangan malaikat dan diubah menjadi tiga makhluk yang paling sukar dipisahkan” kata Tika juga mulai membuka wacana.
            “Hei…apa kalian mau membuang-buang waktu untuk menangisi kebodohan? Ayolah….bukan itu yang sahabat kita inginkan. Chaky….bacakan surat itu” ujar Mala dengan sikap kolerisnya meskipun masih dengan airmata yang membanjiri pipinya. Tanpa ada bantahan, Sakinah langsung membuka amplop pink yang sedari tadi terpegang oleh tangannya.
            “Untuk tiga bidadari yang menanti senja mengantarkan mimpinya di siang hari…..” kata Sakinah mulai membaca dan ia memastikan kedua temannya sudah menyimak dengan seksama.
            “Sungguh kawan….tak ada yang bodoh dalam sebuah persahabatan. Aku tahu, kalian pasti menyalahkan diri kalian atas ketidaktahuan kalian dan aku pun menyalahkan diriku karena keenggananku untuk memberitahu kalian. Padahal, bukan itu yang seharusnya terjadi dalam persahabatan. Kita butuh kepercayaan bukan?
            Sahabatku…aku tak pernah mengerti sebelumnya cara berteman yang baik. Masa-masa kecilku, masa-masa SMP ku sepenuhnya dihabiskan lewat Home Schooling. Teman yang kupunya adalah teman-teman yang menganggap kejeniusan adalah segala-galanya. Teman yang kupunya adalah orang-orang yang menganggap bahwa kesuksesan dilihat dari seberapa besar angka yang mereka torehkan di nilai rapor. Aku sungguh bosan dengan semua itu. Temanku yang sesungguhnya hanyalah buku merah jambu ini yang selalu kubawa ke mana pun ku pergi yang selalu ku bawa ketika aku mendengarkan kalian berbicara. Mungkin bagi kalian ini konyol dan sangat kekanak-kanakan, tapi sebelum bertemu kalian, buku merah jambu ini adalah satu-satunya harta berharga yang membuatku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
            Aku mencoba memasuki dunia SMA dan bertemu kalian. Meskipun hanya diijinkan satu semester saja, aku tak peduli. Aku tahu Ayah dan Ibu cemas karena penyakit yang kuderita dan yang tak pernah kuceritakan pada kalian itu bukan sekedar penyakit biasa. Aku sadar, betapa bahaya hidupku jika jauh dari pengobatan dokter. Tapi paling tidak….aku ingin merasakan indahnya memiliki sahabat. Aku ingin merasakan sekali-kali, curahan hati yang terungkap. Memiliki teman-teman yang benar-benar bisa mendengarkan. Tapi sebelum itu, tentu, aku harus belajar untu merasakan indahnya menjadi buku diary.
            Maaf kalau aku harus memaksa kalian untuk bercerita. Tapi aku suka mendengar cerita kalian. Membuatku benar-benar sadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang aku dan penyakitku, tapi juga tentang Mala dan saudara-saudara kecilnya yang nakal, tentang Tika dan kecemasannya akan berat badan, tentang Chaky dan cita-citanya menjadi cewek atletis nomor satu se Indonesia. Aku sampai lupa bahwa aku juga ingin bercerita. Aku sampai lupa bahwa aku juga punya kisah tersendiri tentang hidupku yang belum kalian tahu. Maaf ya…
            Hh…terlalu banyak menulis tanganku sampai pegal. He he.. Ketika kalian baca surat ini, mungkin aku sudah tak di Indonesia lagi. Aku hanya bisa mengirimkan buku merah jambu ini untuk kalian”  Sakinah menghentikan kata-katanya dan membuka halaman pertama buku merah jambunya. Di sana terpasang foto mereka berempat ketika bermain di danau UI. Air mata ketiganya semakin deras, sakinah pun mulai melanjutkan pembacaannya.
            “Kukirimkan buku ini untuk mewakiliku bercerita pada kalian tentang kisah hidupku….dari sahabat kalian yang sangat merindukan kebersamaan yang dulu…Nabila Latifunnisa” kata Sakinah menatap kedua temannya yang menangis.
            “Ps : oh iya, jangan cemburu sama buku ini ya. Dia hanya hadir lebih dulu dalam hidupku daripada kalian dan berperan sebagai teman curhatku. Tapi aku percaya, kalau saat itu kalian yang hadir lebih dulu, sudah dipastikan buku ini yang akan cemburu pada kalian. He he” kata Sakinah tersenyum tipis. Lalu mereka pun mulai membuka buku yang dimaksud. Buku yang pada awalnya sangat tidak ingin mereka sentuh. 
Ketiga sahabat itu kini menyadari bahwa ada sebuah pekerjaan besar untuk dituntaskan.

            “Kamu lihat apa Bil?” suara lembut seorang wanita merdu terdengar oleh sosok di kursi roda yang tengah menatap langit di balik jendela.
            “Aku, melihat kebebasan suster” Nabila menjawab pertanyaan itu. Suaranya lemah, kulitnya pucat, tubuhnya mengurus, rambut indah yang dulu dibanggakan sudah tidak ada karena pengaruh kuat dari kemotherapi. Akan tetapi, senyum di wajahnya tidak bisa menutupi bahwa ia tidak sedang larut dalam kesedihan.
            “Langit itu amat luas, rasanya menyenangkan membayangkan aku bisa terbang ke sana, melintasi tujuh benua dan tujuh samudera” lanjutnya masih menatap langit yang sama.
            “Kamu bercita-cita keliling dunia Bil?” Tanya suster itu kembali. Nabila tertawa kecil mendengarnya.
            “Suster ada-ada saja. Saya ini tahu diri sus. Jangankan memikirkan tentang cita-cita, berpikir bahwa saya besok masih hidup saja saya masih belum berani” senyum yang tadinya merekah perlahan menipis dan ia mengalihkan pandangannya ke pantulan dirinya di kaca jendela. Ia baru saja berbohong. Sebenarnya, cita-cita dan impiannya sangatlah berlimpah. Cita-cita yang dibangun selama satu semester bersama tiga sahabatnya.
            “Aduh anak ini, sudah mulai belajar bohong ya” suara yang berbeda tiba-tiba muncul di ruangan ini.
            Penyakit yang benar-benar hebat. Bahkan sekarang aku mulai menghayal mendengar suara Mala. Nabila memejamkan matanya mencoba menenangkan diri. Ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan pernah mengalah pada rasa sakit ini.
            “Nabila, buku merah jambu bilang, bahwa ia masih belum mau berpisah sama kamu” suara yang lain tiba-tiba muncul. Nabila mulai merasa sangat aneh karena sekarang suara Tika bergumam dengan sangat jelas. Ia pun merasa khayalannya mulai menjadi-jadi. Separah inikah penyakitnya?
            “Kata buku merah jambu, harus Nabila sendiri yang bercerita tentang kisah hidupnya karena ia tidak mau membagi kisah manis kalian berdua” suara Sakinah menyadarkan gadis di atas kursi roda itu bahwa ia sedang tidak mengkhayal. Suster dengan penuh kerendahan hati membalikkan kursinya sehingga ia bisa melihat tiga peri berdiri di hadapannya.
            “Kalian…….” Isak tangis pun menyelimuti ruangan itu dalam sekejap.
            “Fenomena cewek masa kini nomor 5, mereka bisa sangat cengeng dalam situasi seperti ini” Nabila bergumam pelan dalam pelukan teman-teman yang telah menghabiskan waktu tiga bulan penuh untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli tiket pesawat dan akomodasi ke Singapura.