Teruntuk Mamak

Di dunia ini banyak hubungan yang terbangun jauh lebih erat dibandingkn hubungan yang berasal dari darah yang sama.

Hubungan istimewa aku menyebutnya. Itulah yang terjalin antara aku dan Mamak.
Suramnya masa kecilku terus terang menyebabkan aku kehilangan ingatan masa kecilku paling tidak hingga aku berumur Sembilan tahun. Hal yang aku ingat di selang waktu Sembilan tahun ke bawah hanya satu… yaitu Mamak.

Mak Sri, begitulah orang biasa memanggilnya. Tapi bagiku dia adalah Mamak. Mamak bukanlah wanita yang melahirkanku, menyusuiku, ataupun berjasa besar dalam membesarkanku dan menyekolahkanku hingga berada di jalur pendidikan tinggi. Tidak. Setahuku uang Mamak bahkan tidak cukup untuk membeli perabotan rumah tangga yang sederhana.

Di dalam ingatanku, teringat jelas. Mamak adalah seorang wanita tua dengan senyum sederhana yang dengan senyum itu, aku yang masih kecil mampu merasa aman. Kuakui, pendidikan Mamak baik dari segi pendidikan umum maupun pendidikan agama tidak sehebat ataupun tidak setinggi Ibuku tercinta yag melahirkanku, menyusuiku, dan membesarkanku. Banyak orang yang juga mengatakan bahwa Mamak hanya memanfaatkan aku untuk bisa mencari uang dari kedua orangtuaku yang dulu memang sedang sibuk bekerja untuk menafkahi kelima anaknya sehingga tidak memiliki waktu untuk mencurahkan semua perhatiannya pada kami. Banyak orang meragukan ketulusan Mamak dalam merawatku ketika itu. Tapi, yang berada di dalam ingatanku adalah. Mamak adalah orang yang pertama kali menghampiri ketika aku terbangun karena mimpi buruk. Mamak adalah satu-satunya orang yang mau menemaniku ke toilet yang dulu letaknya berada jauh dari rumah kami (toilet umum), dalam kondisi gelap. Mamak sangat tahu bahwa aku benci sekali dengan kecoak dan tak pernah membiarkan sekali pun serangga itu mendekatiku. Mamak adalah orang pertama yang membuatku menyukai Susu Kental Manis Coklat. Aku selalu ingat betapa hangatnya genggaman tangan Mamak, dan betapa nyamannya ketika ia menggendongku.

Mamak….memiliki seorang anak yang sudah besar yang seharusnya bisa menjaganya. Tapi, ia selalu Nampak sendirian di dunia ini dan sepertinya hanya memiliki aku.

Waktu pun terus berjalan. Aku bertambah besar dn semakin bisa mengurus diri sendiri. Mama, atau Ibu Kandungku mengambil alih atas diriku di usiaku yang ke Sembilan (atau yang ke sepuluh). Mamak pun melepasku dengan tenang, lalu menjalani kehidupannya yang lama….. yang penuh kesendirian. Aku yang masih kanak-kanak dan tidak mengerti apa-apa pun menjalani hidupku seperti apa yang sudah digariskan Allah padaku. Kembali pada kedua orangtuaku yang sangat kucintai dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku punya dua kakak dan dua adik yang sebelumnya tidak pernah kurasakan keberadaannya, tetapi semakin bertambah usia justru semakin dekat aku dengan mereka.

Waktu terus berjalan…… jarak antara aku dan Mamak pun semakin jauh. Mamak tiba-tiba menghilang, pergi meninggalkan tempat kumuh kami yang dulu. Aku berpikir, dia pasti tengah meniti jalan yang lebih baik.
Waktu terus berjalan….. konflik pun semakin banyak terjadi di keluargaku. Pengkhianatan, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan, dan perceraian pun menimpaku yang masih berusia belasan tahun itu. Tapi tak pernah sekali pun aku berpikir untuk kembali pada Mamak. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya bisa bertahan dalam kondisi keluarga yang sedemikian rumitnya.

Ya…. Waktu terus berjalan.  Tiba-tiba saja aku sudah berusia dua puluh tahun. Sudah terbiasa dengan kondisi yang ada, dan mensyukurinya sebagai anugerah yang diberikan Allah padaku. Ingatanku terhadap sosok Mamak, memudar begitu saja. Bahkan, aku hampir lupa bagaimana wajahnya dulu. Mungkin jika tiba-tiba bertemu, aku tidak bisa mengenalinya. Pernah rasanya aku bertemu dengan orang yang mirip dengannya, tapi ternyata bukan.

Lalu tiba-tiba saja…………

Waktu terasa terhenti

Ketika salah satu adikku mengirim sebuah pesan….

“Mba, Mamak Sri meninggal”

Aku terpaku dalam diam dan mencoba mencerna kata-kata itu. Sedih? Kaget? Entahlah…. Lebih tepatnya, aku tak tahu ekspresi apa yang harus kutunjukkan. Sudah bertahun2 lamanya tak kudengar kabarnya, dan ketika kabar itu datang, justru ketiadaan yang menghampiri.

“Udah lama, sipa aja baru dikasih tahu. Udah 100 hari. Katanya sebelum meninggal nyariin mba”

Tangisku pun pecah…… dan aku mulai mengutuki diri sendiri.

Mamak yang telah pergi dari kehidupanku selama sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih….. mencariku di detik-detik menjelang ajalnya, bahkan di saat aku tidak memikirkannya sama sekali.

Tangisku pun semakin pecah……………

Bodohnya aku yang tidak pernah berusaha mencari keberadaan wanita itu, wanita yang mencintaiku dengan tulus, meskipun darahnya tak setetespun mengalir dalam tubuhku.

Mamak……
Maafkan anakmu ini, yang tak tahu bagaimana caranya untuk membalas kebaikan.

Bukan seberapa banyak yang telah Mamak lakukan yang membuat hati ini teriris begitu sakit atas kepergianmu

Tetapi…..

Seberapa dalam, engkau mengukir namaku di dalam hatimu yang terdalam…. Hingga di sisa umurmu

Mamak……

Doa anak yang sholeh itu bisa menjadi penolong untuk seseorang yang telah meninggal bukan?

Mamak….. aku berjanji akan menjadi anak yang sholeh agar dapat selalu mendoakanmu Mak. Meskipun, aku tidak tahu sejauh apa doa itu akan sampai.

Mamak……
Terima kasih telah mencintaiku hingga di akhir waktu Mamak….